“Ketika
pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir dikosongkan, ketika ikan
terakhir ditangkap, barulah manusia menyadari bahwa dia tidak dapat memakan
uang.” – Eric Weiner
Mari memulai tulisan ini dengan
beberapa pertanyaan; Apa dampak
dari keterlibatan manusia yang sangat besar dan berskala global terhadap bumi
dan seisinya itu? Benarkah bahwa manusia secara umum yang menyebabkan bencana
ekologis dengan porsi tanggung jawab yang sama? Paparan Crutzen dan Stoermer
menunjukkan bahwa peran sentral manusia dalam geologi dan ekologi ini ternyata
lebih bersifat menghancurkan ketimbang menghasilkan manfaat. Keduanya,
misalnya, mendaftar beberapa hal buruk yang disebabkan oleh aktivitas manusia
tersebut: pertumbuhan populasi manusia berlangsung 10 kali lipat dalam tiga
abad terakhir, ketika populasi sebesar itu telah memelihara 1,4 miliar ternak
sapi penghasil metana (CH4), yang merupakan salah satu penyumbang
gas rumah kaca. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhannya dan
perkembangan-perkembangan hidupnya, manusia antroposen ini kemudian
mengeksploitasi lebih dari 30-50 persen permukaan tanah, menghancurkan hutan
hujan tropis, mengalihkan aliran sungai dan membangun bendungan-bendungan
raksasa, dan mengkonsumsi lebih dari setengah keseluruhan air tawar yang bisa
diakses. Intervensi manusia ini juga menyebabkan terjadinya penurunan sebesar 25
persen ikan di wilayah laut dalam dan 35 persen di laut dangkal, meningkatkan
penggunaan pupuk nitrogen lebih dari dua kali lipat dalam pertanian seperti
yang digunakan secara alami di semua ekosistem terestrial yang digabungkan,
menyebabkan terjadinya peningkatan sebesar 16 kali lipat penggunaan energi pada
abad kedua puluh, yang menyebabkan terjadinya peningkatan emisi sulfur dioksida
(SO₂) menjadi lebih dari dua kali tingkat alami dan meningkatkan konsentrasi
gas rumah kaca di atmosfer untuk level tertinggi mereka dalam lebih dari
400.000 tahun.
Sebagaimana
yang kita lihat bahwa sebab relasi manusia dengan alam sangat bersandar pada
nafas antroposen membuat intervensi manusia bersifat sangat destruktif. Antroposen
adalah sebuah epos yang memposisikan manusia sebagai pusat dari kehidupan yang
megah ini, karena itulah manusia merasa dirinya sebagai satu-satunya entitas
yang harus diuntungkan secara terus-menerus di atas kepentingan entitas yang
lain (baca: alam). Oleh sebab itu, munculnya epos Antroposen tidak hanya
menandai kelahiran sebuah krisis ekologi yang semakin masif, lebih dari itu
antroposen adalah epos yang dapat mendorong ekologi secara cepat dan brutal ke
ambang batasnya; kepunahan, sebuah patahan radikal (radical break)
dari kondisi-kondisi ekologi yang sangat stabil pada epos holosen.
Manusia Adalah Sentral
Puluhan ribu tahun yang lampau, bumi
menjadi sebuah tempat yang sangat nyaman untuk dihuni oleh berbagai makhluk
hidup seperti tumbuhan dan beberapa jenis binatang besar. Situasi ini membuatnya
tidak berlebihan jika kita menyebut “bumi sebagai rumah oleh seluruh makhluk
hidup di dalamnya”. Dari binatang mamut berbulu lebat, kucing bertaring pedang,
atau binatang yang mungkin kurang kita kenali namun masih dicatat oleh beberapa
literatur sejarah dengan perawakan yang sangat eksotis, seperti kukang tanah
raksasa dan glyptodon sebesar mobil, menjadi sebuah bukti yang nyata bahwa
dahulu kala terdapat megafauna yang mendiami dan menjelajahi dunia dengan
sangat bebas tanpa perlu takut terhadap sebuah ancaman dari entitas lain di
luar hukum alam.
Saat
ini, hampir seluruh binatang besar itu tidak diketahui kemana rimbanya,
mengalami kepunahan massal, atau mungkin dibunuh secara besar-besaran
berdasarkan bukti-bukti yang ada menyebutkan, dilakukan oleh umat manusia.
Lantaran manusia juga dengan bebas mulai melakukan penjelajahan dan menyebar ke
hampir setiap sudut penjuru bumi, membuat Homo Sapiens membinasakan
sebagian besar populasi megafauna di mana pun mereka tinggal dan menetap, hal
itu pulalah secara tidak langsung mengemuka sebagai penyebab kekacauan
konvergensi di atas bumi. Pada dasarnya, manusia tetap akan makan dan
mengenyangkan diri di sepanjang rantai makanan sembari menunggu waktu untuk
memakan kulit serta dagignya sendiri sebagai konsekuensi tingkahnya dalam
menyapu bersih biodiversitas. Sebagaimana keberlimpahan spesies di wilayah
tertentu yang tengah mengalami kemerosotan tajam, akan sekaligus mengancam
fungsi keseluruhan ekosistem. Dengan demikian sebuah kepunahan yang massal
terjadi dapat dikategorikan sebagai akibat dari krisis lingkungan kontemporer.
Seperti
yang diungkapkan oleh E.O Wilson “daerah tropis menjadi tempat pembantaian
terkemuka yang berujung pada kepunahan, hamparan hijau dibabat menjadi fragmen
yang menyusut cepat, spesies tanaman dan binatang berjuang untuk beradaptasi
dengan perusakan habitat, spesies invansif, pemanenan berlebihan, dan perubahan
iklim antropogenik yang meningkat.” Dari hamparan Amazon yang besar, hutan
hujan di Afrika Barat dan Tengah, hingga hutan belantara di Indonesia,
Malaysia, dan sebagian Asia Tenggara, umat manusia memiliki peran sentral dalam
memusnahkan kehidupan jutaan spesies yang lain dan membangun krisis (bencana)
ekologis, tanpa disadari juga sedang membahayakan dirinya serta keberlangsungan
hidupnya sendiri di planet ini. Ranajit Guha dan Juan Martinez-Alier
menyebutnya sebagai “ekosistem manusia” dengan takdir yang berkelindan erat
bersama planet, flora, dan fauna, kepunahan menjadi masalah yang terhubung
langsung dengan kelangsungan hidup mereka, baik hari ini dan hari depan. Lalu
apa itu krisis (bencana) ekologis?
Krisis
ekologis sejak mula didirikan di atas aktivitas manusia sejak jutaan tahun yang
lalu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan terkait dengan campur
tangan atau keterlibatan manusia terhadap bumi dan seisinya. Perubahan iklim,
bocornya lapisan ozon, kadar pengasaman laut yang makin tinggi adalah sebuah
krisis ekologi biasa, sebuah proses alamiah hasil dari aktivitas manusia sejak
jutaan tahun lalu. Sebab hubungan metabolisme antara alam dan manusia bersandar
pada kepemilikan (apropriasi) yang menjadikan alam sebagai basis materiil dalam
menunjang eksistensinya melalui kerja dan produksi. Oleh karena itu manusia secara
umum sebagai makhluk yang materiil dan objektif tidak mampu lepas dari
relasinya dengan alam, yang berarti manusia harus mampu mengolah alam demi
kebutuhan dan keberlangsungan hidupnya agar tetap eksis. Namun bukan berarti hal
demikian patut kita kutuki sebagai tindakan pencurian oleh manusia terhadap
alam.
Bencana
terhadap ekologi diakibatkan oleh relasi kepemilikan (ekspropriasi) yang
menyebabkan patahan metabolisme—mengalienasi manusia dari alam akibat
perampokan terhadap alam yang membuat benteng besar demi menghalangi alam
memasuki babak operasi kondisi alamiahnya atau sebuah pemulihan sistematis.
Relasi destruktif itu mensyaratkan perampokan yang melanggar hukum kompensasi,
artinya putaran ekpropriasi harus lebih banyak berjalan untuk memakan seluruh
yang ada demi kepentingan kelompok tertentu dalam mengakumulasi keuntungan.
Maka bencana ekologi merupakan produk dari privatisasi terhadap sumberdaya
milik bersama (commons) seperti: tanah, air, udara, demi kepentingan akumulasi,
membuatnya menjadi properti milik pribadi. Bagaimanapun sebuah sistem dan
tindakan yang mengkomodifikasi planet ini, akan segera menelanjangi kesuburan
dunia. Sebagaimana kepentingan yang inhern dalam kapitalisme untuk menambah
angka-angka dan mencipatkan apa yang Vandan Shiva sebut sebagai “cara berpikir
monokultur,” membuat kita akan terjebak pada krisis lingkungan akibat perut
yang tidak pernah kenyang.
Sebuah
Katastrofe Hari Ini?
Sejak kapan
bencana ekologi tejadi dan siapa yang musti bertanggung jawab atas kejadian
ini? Pertanyaan demikian tentu akan mengantar kita dalam menyelisik sebuah
gagasan yang telah mengibarkan bendera kemenangan secara kokoh dan tegas atas dominasi manusia sebagai pusat kehidupan, gagasan inilah sejak mula kian berpengaruh
terhadap krisis yang terjadi dengan nama Antroposen. Umat manusia dengan semangat Antroposen
tersebut berupaya menyusun ulang tatanan lingkungan bumi serta kehidupan yang
ada di dalamnya secara fundamental tanpa pertimbangan berkelanjutan atas
keberlangsungan hidup entitas lain selain dirinya. Jadi satu-satunya yang
paling diuntungkan haruslah manusia, bukan yang lain seperti bumi, flora, dan
fauna, dukungan terhadap gagasan ini semakin dibenarkan oleh omong kosong
tradisional yang menjelaskan perbedaan murni antara manusia dan alam. Manusia
dilihat sebagai makhluk rasional, sedangkan alam dilihat sama sekali tanpa daya
rasional yang membuatnya bisa dimanfaatkan atau bahkan diekploitasi sedemikian
rupa. Hingga paling ekstrim kekuatan rasio menjadi segalanya sebagai parameter
dalam menilai objek tertentu agar dapat dikatakan bernilai.
Dalam epos Antroposen ini terjadi
penjungkirbalikan dalam relasi manusia dengan alam yang mulanya harmonis
menjadi tidak seimbang atau yang satu (manusia) mendominasi yang lainnya
(alam). Dalam beberapa literatur menyebut hal ini bermula di zaman pencerahan
dengan proyek untuk mengalahkan kekuatan adikuasa dan mistis. Dengan panduan
akal rasionalisme manusia memulai pemberontakan terhadap kegelapan yang sempat
menguasai dunia. Sapere
Aude (berani
berpikir) adalah motto dari keseluruhan zaman pencerahan, kata filsuf Immanuel
Kant. Beberapa panglima pencerahan mengusung strategi dalam memaklumatkan
sebuah semangat atas kemenangan rasio manusia atas alam, sehingga manusia dianggap
dapat menentukan sendiri arah takdir hidupnya. Sebagaimana misalnya Francis
Bacon berpendapat bahwa posisi manusia adalah superior atas alam. Begitupun
dengan warisan buah pikiran Rene Descartes yang mendikotomi antara pikiran (mind)
dan materi/tubuh (matter/body) secara tegas, yang
terkenal dengan sebutan Dualisme Cartesian. Lebih jauh Descartes mengidentikkan
manusia dengan mind, sementara alam (flora dan fauna) diisolasi ke level
mesin almiah.
Crutzen melacak
penanda awal Antroposen hingga akhir abad ke delapan belas, ketika revolusi
industri semakin membumi dan memulai kesibukannya dalam melepaskan emisi karbon
dioksida dalam jumlah yang sangat besar ke langit-langit atmosfer. Namun
sebelum menerima pernyataan ini secara terburu-buru maka patut untuk berpikir
ulang apakah kejadian tersebut merupakan penyebab atau hanya sebagai akibat?
Agar tidak mengaburkan pertanyaan pokok tentang kekerasan dan ketidakadilan
dalam relasi umat manusia dengan alam. Menjadi mungkin untuk melakukan
pencarian lebih jauh ke belakang sebagai penanda awal dari epos Antroposen
melampaui abad kedelapan belas. Dalam sebuah istilah “defaunaisasi dalam
Antroposen” yang dicetuskan oleh para ahli biologi mereka mengemukakan sebuah
pertanyaan kapan Homo Sapiens memberi dampak dalam skala besar terhadap
planet ini? Berdasarkan pelacakan yang dilakukan oleh Franz Broswimmer,
menurutnya momen terpenting ialah adanya pembentukan bahasa manusia, dan
dengannya muncullah perubahan kualitatif yang menandai perkembangan kapasitas
manusia dalam membentuk tujuannya. Kira-kira 60.000 tahun yang lalu, adanya
bahasa memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan pengorganisiran sosial
manusia sebagai langkah adaptif untuk mendekati alam. Hal ini pulalah yang
menandai adanya batu loncatan Homo Sapiens dari evolusi biologis melalui
seleksi alam ke evolusi budaya.
Perubahan
dalam kebudayaan manusia secara umum dan bersamaan menyebabkan hubungan kita
dengan alam mengalami sedikit pergeseran orientasi. Selama akhir era Pleistosen
(50.000-35.000 tahun lalu), nenek moyang manusia melakukan pembaruan-pembaruan
terhadap pengorganisasian sosial begitupun mengembangkan berbagai jenis senjata
untuk menjemput kemenangan mereka dalam aktivitas berburu di laga yang besar,
mulai dari busur, panah, pelembar tombak, dan lubang perangkap. Dengan kebaruan
tersebut manusia semakin mudah melakukan pengepungan terhadap sekawanan
binatang besar dan mengantarnya ke pintu kematian sebagai bekal untuk memenuhi
kebutuhan hidup yakni; makan. Selain daripada itu, penyebaran manusia ke setiap
sudut penjuru bumi menjadi sangat masif. Dari rumah nenek moyang kita di
Afrika, mereka berpencar, mengkolonisasi ekosistem utama dunia dalam rentang
waktu 30.000 tahun. Akibatnya manusia mengalami ledakan demografis, hingga
krisis (bencana) ekologis berupa kepunahan pada masa Pleistosen tak dapat
dihindari dan pembacaan atasnya tidak dapat dilepaskan dari ekspansi ruang dan
demografis Homo Sapiens. Manusia waktu itu dengan segala kemampuannya
memiliki kecepatan dalam memusnahkan spesies yang secara tidak sengaja
berhadapan langsung dengannya.
Hingga
akhirnya terjadi sebuah transisi besar yang juga berpengaruh terhadap pilihan
nenek moyang manusia untuk menemukan jawaban yang pas demi keberlangsungan
hidupnya. Sebab pada waktu itu, terjadi perubahan iklim yang sangat ekstrim,
seiring dengan ledakan demografis, dan kepunahan megafauna memaksa manusia
merasakan krisis pangan pertamanya akibat kondisi yang tidak seimbang antara
populasi manusia dan pasokan cadangan makanan. Didorong oleh krisis ini,
membuat manusia mencari alternatif dari tradisi bertahan hidup sebelumnya. Masa
ini dikenal sebagai Revolusi Neolitik dimana basis material mengkondisikan
corak (relasi) produksi pada waktu itu. Dengan kondisi lingkungan yang cocok
(air berlimpah dan tanah yang subur) membuat manusia mendomestifikasi tanaman
hingga mengubah corak produksi pangannya dari yang nomaden menjadi menetap, ini
ditandai dengan aktivitas-aktivitas berupa proses perubahan hamparan luas dari
dunia alam menjadi ekosistem pertanian. Namun tetap saja masalah yang sama
kembali muncul, yakni adanya ledakan demografis. Hal ini bersamaan dengan cara
hidup manusia yang menetap, munculnya organisasi sosial di tempat-tempat baru
sebagai pusat aktivitas yang dinamakan kota dengan spesialisasi kerajian, juga
ditandai dengan munculnya elite politik serta agama yang berkuasa. Periode ini
dikenal dengan epos Holosen. Lalu mewujudlah berbagai peradaban yang muncul
pertama di negara-kota seperti Mesopotamia, Mesir, India, Tiongkok, dan Mesoamerika,
hal ini menandakan dominasi manusia sebagai satu-satunya spesies yang memiliki
kemampuan lebih disbanding spesies lainnya dalam mebentuk dan membangun sebuah
dunia baru. Beberapa ilmuwan menyebut bahwa periode dimulainya epos Antroposen
adalah di momen ini.
Selain
beberapa tanda dan kejadian yang terjadi, Revolusi Neolitik tentu saja membawa
pengaruh terhadap pengorganisasian sosial umat manusia waktu itu. Kerja-kerja
pertanian yang dilakukan oleh manusia secara giat memungkinkan munculnya
surplus pangan, hal ini mengakibatkan terjadi sebuah diferensiasi sosial yang
mendikotomi manusia ke dalam dua kepentingan, yakni yang memiliki otoritas
tertinggi serta akses terhadap surplus tersebut serta yang sama sekali tidak
memiliki cukup kekuatan untuk menjangkau surplus pangan. Hingga sejarah manusia
mungkin banyak dilihat sebagai perjuangan atas akuisis dan distribusi surplus.
Bersamaan dengan itu gagasan tentang kepemilikan pribadi mulai muncul dan
terbangunnya sebuah lembaga tertentu yang dapat mengorganisir kontrol terhadap
surplus memuat beberapa dokumen sejarah manusia ke dalam cangkang konflik
sosial.
Mari
meneropong sedikit jauh ke belakang berdasarkan beberapa catatan sejarah
ekosida pra-modern yang sebetulnya tidak ditujukan untuk mengamini bahwa umat
manusia secara pasti dan keseluruhan memiliki dorongan alamiah untuk
menghancurkan dunia alam yang padahal seluruh eksistensinya ditopang di atasnya
(baca:alam). Memang benar bahwa kemampuan manusia sedikit banyaknya telah
memberi perubahan pada kehidupan. Namun
ada kekuatan yang jauh lebih besar dengan kepentingan untuk
mengeksploitasi alam secara terus menerus tanpa ampun dan belas kasihan,
kekuatan tersebut ditandai dengan munculnya masyarakat berhierarki yang
mempraktikkan defaunaisasi sebagai penyebab degradasi eksosistem secara
besar-besaran. Roma kuno menyediakan bukti yang secara terbuka menelanjangi
alam seiring berkembangnya imperium. Penaklukan juga dijadikan sebagai jawaban
dalam menyediakan pasokan makanan dalam produktivitas pertanian domestik tentu
saja hal ini secara bersamaan menyebabkan terjadinya deforestasi secara
besar-besaran yang menyebar dari Maroko hingga Sierra Nevada Spanyol. Ekspansi
dianggap sebagai jalan keluar dari krisis ekologis terhadap wilayah-wilayah
yang dianggap tidak lagi memiliki potensi produktif. Juga dengan legitimasi
agama membuat mereka semakin bebas mentransformasi dunia alam untuk mengejar
kepentinga manusia itu sendiri.
Sudahkah
para Pencinta Alam Melakukan Analisis?
Jika mereka para Pencinta
Alam masih ingin secara berani dan tegas mempertanggung jawabkan kata Cinta di
dalam identitasnya, maka sudah seharusnya mereka membangun ruang-ruang diskusi
secara masif untuk melahirkan analisis pengetahuan yang jelas dalam menunjukkan
keberpihakan yang jelas pula terhadap alam. Alam adalah rumah, tempat bermain,
sekolah (tempat menempa diri) atau apapun sebutannya bagi para Pencinta Alam,
oleh karena itu jika rumah itu disentuh oleh tangan-tangan tidak bertanggung
jawab hingga melakukan perusakan (eksploitasi), bagi saya hanya orang-orang
tidak berpikir yang akan tinggal diam. Sebagaimana ungkapan Marx “tidak ada
jalan yang mudah menuju ilmu pengetahuan, dan hanya ia yang tak gentar di
setiap langkahnya dalam pendakian melelahkan itulah yang memiliki peluang
meraih indahnya puncak terang nan bercahaya.” Kelelahan dalam sebuah proses
pendakian baik secara psikis maupun fisik adalah pengalaman yang hampir tiap
saat dirasakan oleh para Pencinta Alam, sebab gunung yang dingin dan sunyi
tidak pernah sedikitpun menggetarkan hati mereka yang sudah merasa tekoneksi
dengan tempat bermainnya (baca:gunung). Semangat demikianlah yang harus menjadi
dasar gerak bagi para Pencinta Alam dalam berbagai hal.
Esok hari adalah sebuah misteri, hal
ini tentu akan diakui oleh siapapun. Disana hanya ada dua kemungkinan yang akan
terjadi, entah sesuatu yang baik maupun buruk. Hal ini sangat dekat dengan
mereka yang seringkali meluangkan waktu untuk menginjakkan kakinya di sebuah
hutan rimba, tempat seluruh kemungkinan dapat terjadi dan mendekat ke arah para
Pencinta Alam demi menunjukkan ketidaktahuannya. Sebab ketidaktahuan bukanlah
manifestasi kebahagiaan, maka menempuh jalan-jalan sunyi bagi para Pencinta
Alam adalah sebuah proses pendekatan diri yang lebih intim kepada alam, untuk
mengenalnya lebih jauh dan dalam. Tetapi semakin sering para Pencinta Alam
menginjakkan kakinya di bentang alam yang luas ini bukan berarti dapat
menghasilkan keintiman yang nyata. Keintiman tidak selamanya membuat alam dan
Pencinta Alam menjadi saling mengenal apalagi membuat mereka merasa dapat
mengerti dan menampung seluruh elemen ilmu pengetahuan yang ada, lantas
berteriak “aku telah mengerti dunia secara universal.” Maka dari itu merasa
tahu sama dengan mematikan kecerdasan. Dunia masih penuh dengan misteri. Para
Pencinta Alam tidak akan tinggal diam sembari menunggu seluruh jawaban akan
datang dengan sendirinya. Lagipula masalah alam dan lingkungannya serta
kehidupan pelosok di desa-desa bukan sesuatu yang begitu saja dapat dirasakan. Kita
perlu lebih dekat, mempelajari serta memahaminya, atau terus hidup dalam
ketidaktahuan yang sebetulnya tidak akan menolong siapapun.
Oleh karena itu dibutuhkan pembacaan
yang jelas dan berpihak sebelum berpikir tentang dunia dengan tatanan ekologis
apa yang seharusnya, kemungkinan itu hanya dapat terwujud setelah kita
mengetahui akar masalah dari krisis (bencana) ekologi melalui pembacaan
historis dan mengidentifikasi dalang secara tepat yang harus bertanggung jawab
atas katastrofi hari ini. Ada ikatan yang sangat kuat antara gagasan Antroposen
dan Kapitalosen (Kapitalisme) yang mewariskan kehidupan menjadi buruk ke anak
cucu kita kelak sebagai akibat dari perampasan dan pemborosan yang semborono
atas sumber daya lingkungan dunia milik bersama.
Berdasarkan gagasan Antroposen di sepanjang sejarah, umat manusia telah terlibat secara langsung ke dalam berbagai bentuk ekosida. Namun hanya dengan kekuatan ekspansi yang berorientasi untuk mengenyangkan perut secara terus menerus (tanpa batas) dan pembangunan Kapitalisme modern membuat ekosida benar-benar membumi ke segala penjuru dengan sifat ketamakan. Ekspansi hubungan sosial kapitalistik melalui kolonisasi dan imperialisme telah memajukan bencana ekologis yang semula hanya terjadi di wilayah tertentu merembes hampir ke satu planet. Sebab kacamata mereka dalam melihat alam hanyalah tempat untuk mengakumulasi kapital, alam diubah menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan, oleh karena itu masyarakat kapitalislah yang harus bertanggung jawab atas kerusakan alam hari ini karena telah menggeser relasi manusia dengan alam menjadi corak ekploitasi ekologis secara terus menerus yang tidak pernah dibayangkan pada epos-epos sebelumnya. Relasi destruktif terhadap alam merupakan syarat dasar bagi kapitalisme, sebab mengubah alam hanya sebagai komoditas dengan kata lain membongkar hal esensial dan spesifik dari komplesitas sebuah ekosistem yang terkoneksi satu sama lain. Kapital mereduksi alam tanpa henti sehingga semakin memiskinkan kualitas alam demi tujuan agar dapat dipertukarkan. Seperti yang dikatakan Marx dalam Grundrisse “Kapital adalah dorongan tanpa akhir dan tanpa batas untuk melampaui penghalang yang membatasinya.” Dengan demikian jika menerima sistem yang ganas ini, bersiaplah menuju kematian dan kepunahan, khususnya bagi para Pencinta Alam. Sebab tempat bermainnya seperti gunung, tebing, gua, dan laut adalah ladang yang bisa mengenyangkan para kapital dengan jalan eksploitasi demi akumulasi kapital. Jika alam telah hilang, dapatkah para Pencinta Alam tetap eksis? Saya rasa itu adalah hal yang mustahil. Maka perlulah para Pencinta Alam membangun keberpihakan terhadap alam dari ombang-ambing kapitalisme.
Ditulis oleh, Muhammad Riski (Yoyo) K.134 21 563. Aktif sebagai penjaga ruangan sudut biru langit (blue sky) di KORPALA UNHAS.
DAFTAR PUSTAKA
Pontoh, Coen Husain (2022). Asal-usul Antroposen dan Efeknya terhadap Hubungan Manusia dan Alam. IndoProgress
Ghiffari, Arlandy (2020) Terjemahan dari artikel John Bellamy Foster dalam Jurnal Monthly Review: Marx, Value, and Nature. Islam Bergerak.
Dawson, Ashley (2022). Kepunahan dan Kapitalisme: Sebuah Sejarah yang Radikal. Penerbit Independen. Yogyakarta.
lalu apakah cukup jika pencinta alam hanya tahu naik gunung?
BalasHapuskalau hanya tau naik gunung, namanya 'Penaik Gunung'.
Hapus