Jalan poros yang menghubungkan Kota Makassar & Gowa ini tidak selebar jalan perintis kemerdekaan. Sedikit hambatan kerap kali terjadi saat kawanan Sapi beserta pengembalanya melewati jalan ini. Hal ini selalu terjadi pada pagi & sore hari. Beruntung kawanan yang berpapasan dengan kami masih tergolong kecil (10-15 ekor), hingga tak perlu berlama-lama di jalan ini. Saat perempatan Samata mulai terlihat, itulah pertanda bahwa kita sudah memasuki Kabupaten Gowa.
Samata yang dulu beda dengan yang sekarang. Maraknya pembangunan mulai dari perumahan, ruko hingga fasilitas pendidikan kian mempertegas laju sebuah kota. Kondisi jalan yang mulus dan cukup lebar di Samata ini berganti dengan jalan sempit dan berlubang ketika memasuki wilayah Kelurahan Patalassang-Palantikang. Proyek pelebaran jalan semakin membuat para pengendara lebih hati-hati. Apa lagi dengan fasilitas penerangan jalan yang masih sangat minim. Saya dan Ical menyempatkan diri untuk singgah di salah satu warung sambil menunggu Irwin yang bersama seorang kawan (Anto) yang baru bergabung . Setiap ada kendaraan yang lewat kami pun terpaksa menutup mulut & hidung karena debu.
Singkat cerita, setelah melewati jalan poros Sungguminasa-Malino yang ditandai oleh perubahan suhu yang cukup drastis, akhirnya sekitar pukul 20.40 WITA kami tiba di Malino. Setelah mengisi bensin di SPBU dan berbincang singkat tentang kenaikan harga BBM per pukul 00.00 nanti, kami menuju desa terakhir. Saya terbayang dengan senyuman Bapak Jero Wacik (menteri ESDM) ketika diwawancari perihal kenaikan harga BBM. Beliau seolah melakukan hal yang betul dan benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Setelah hampir 20 menit perjalanan kami pun sampai ke desa yang menjadi base camp para pendaki. Desa itu bernama Lembanna.
puncak Bawakaraeng
Lembanna-pos 5 BawakaraengKami memarkir kendaraan di depan rumah Tata Rasyid. Puluhan motor juga terparkir di sini. Hal ini menjadi indikasi banyaknya pendaki di puncak Bawakaraeng maupun lembah Ramma. Setelah pamitan, kami langsung menuju ke pos 1. Saat itu jam menunjukkan angka 21.30. Sesuai dengan ROP, tim akan mendirikan camp di pos 5 Bawakaraeng. Terpaan kabut diselingi bunyi serangga kian mempercantik suasana malam ini. Setelah sampai di ujung aspal, kaki kami disambut dengan jalan pengerasan sepanjang sekitar 150 meter. Dari sini kita sudah bisa melihat pepohonan pinus yang menjulang. Kondisi medan praktis belum terlalu berat di jalur ini. Setelah menempuh waktu perjalanan sekitar satu jam, akhirnya pukul 22.20 tim tiba di pos 1. Saat itu tak kami lewatkan untuk berkirim kabar ke mabes Korpala Unhas.
Dua puluh menit sudah kami habiskan di pos 1, baru sekitar pukul 22.40 tim menuju ke pos 2. Jalanan yang selebar kurang dari 50 cm ini mengharuskan tubuh beradu dengan semak belukar. Gesekan di kiri-kanan badan, bahkan tak jarang mengenai wajah menjadi tantangan tersendiri. Tingkat tanjakan juga tidak berbeda jauh dengan jalur sebelumnya. Hanya saja jarak dari pos 1 ke pos 2 pun lebih pendek dari Lembanna ke pos 1. Walhasil dengan waktu tempuh selama kurang lebih setengah jam, tim telah menginjakkan kaki di sebuah anak sungai. Inilah pertanda pos dua tersebut. Tim tidak menghabiskan banyak waktu di tempat ini, pukul 23.10 kami menuju ke pos 3.
Ada dua versi mengenai lokasi pos ini. Sebuah sungai berjarak waktu tempuh 10 menit dari pos 2 dikatakan sebagai pos 3. namun tak berapa jauh dari sungai tersebut sebenarnya juga ada pos 3. Ada yang mengatakan bahwa jarak pos 2 ke sungai tersebut terlalu dekat jadi tak dapat dikatakan sebagai pos 3. Di tengah bayangan akan pos 5 dan kehangatan tenda, tim pun akhirnya merapat di pos 3.
Kondisi berbeda terjadi ketika menuju ke pos 4. Pepohonan berbalut lumut menemani kami sepanjang perjalanan. Gambaran seperti ini ditambah dengan pekatnya malam sedikit membuat bulu kuduk merinding. Namun sebisa mungkin pikiran dibawa ke hal-hal yang positif serta selalu mengingat kepada Tuhan. Akhirnya pada pukul 23.40 pos 4 menyambut kedatangan kami. Tanpa menunggu lama tim pun menyongsong indahnya pos 5. Menurut kabar dari kawan-kawan yang masih menetap di Lembanna, bahwa telah banyak pendaki yang camp di pos tersebut. Begitu pun dengan info dari teman sependakian di ujung telepon sore tadi.
Kondisi medan sedikit demi sedikit semakin mengigit betis dan menguras paru-paru. Hawa dingin malam pun kian menusuk tulang. Pepohonan berlumut pun seakan tak ada habisnya sepanjang mata memandang. Hari telah berganti, namun kenampakan pos 5 belum juga muncul. Masih jelas di ingatan tentang pos tersebut yang berada di daerah terbuka. Jadi ketika pandangan akan berakhirnya jejeran pepohonan, di situlah kami berharap akan pos tersebut. Namun beberapa kali kami harus kecewa karena belum juga tiba. Baru pada pukul 00.30, kami mulai mendapati beberapa tenda dengan penghuni yang sudah terlelap. Dengan segala rasa syukur, akhirnya step pertama dari pendakian kali ini telah berakhir.
Sabtu pagi di pos 5
Di ujung lelap, samar-samar terdengar aktifitas kawan pendaki yang lain. Mulai dari bunyi alat masak hingga derap langkah kaki. Ada yang mengambil air atau sekedar menikmati indahnya pagi, begitulah kiranya terdengar. Singkat cerita akhirnya kami berbagi tugas. Dua orang segera mengumpulkan veldples guna diisi kembali dan sisanya menyiapkan sarapan. Harus diingat bahwa lokasi sumber air di pos 5 berjarak sekitar 10 menit perjalanan. Saat matahari di timur yang kian meninggi tak kami lewatkan untuk sekedar menghangatkan badan maupun mengeringkan beberapa barang yang sedikit lembab akibat kabut semalam.
pos lima
Pos 5-puncak BawakaraengSekitar pukul 10.00 pagi tim sudah siap meninggalkan pos 5. Setelah mematikan api, kami berdoa dan ditutup dengan beberapa gambar. Setelah melalui jalan yang agak rapat dengan vegetasi, akhirnya kami tiba di tempat yang benar-benar terbuka. Hanya rumput setinggi lutut dengan bebatuan besar di sekeliling. Terlihat beberapa pohon yang tetap tegak meski hanya menyisakan batang. Saat cerah, kita dapat menyaksikan perkampungan yang ada di kaki gunung. Pun terlihat di kejauhan kota Gowa dan Makassar. Kami menghabiskan waktu antara pukul 10.45-11.10 di pos 6. Lokasi ini adalah tempat untuk mempersiapkan diri sebelum menyongsong pendakian tanpa henti. Hanya ada beberapa meter jalan yang datar.
Pos 7 identik dengan salah satu puncak, yakni Sarobaiya. Bebatuan besar yang berada di dekat jurang jadi tempat bertengger untuk menikmati pemandangan di bawah sana. Dari sini kita dapat menyaksikan megahnya lembah Ramma. Hanya saja Kondisi memilukan tersaji di tempat ini. Sangat banyak sampah yang terkumpul & tak sedikit pula yang berserakan. Setelah puas beristirahat akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama kami jalan, pos 7 pun terlewati. Saat di puncak Sarbaiya, waktu sudah menunjukkan 11.50.
Kalau anda bertanya kepada orang yang sering mendaki gunung Bawakaraeng tentang jalur terberat, mungkin sebagian besar akan menjawab pos 7-pos 8, maupun sebaliknya. Berdasarkan informasi dari beberapa pendaki senior, longsor di tahun 2004 yang menjadikan jalur ini semakin jauh. Kita harus melewati beberapa punggungan dan lembah untuk mencapai pos 8. Perjalanan sekitar satu jam akhirnya terbayarkan oleh pemandangan di pos ini. Beberapa meter dari pos 8 terdapat sungai yang cukup besar dan mampu menyediakan persiapan air bagi para pendaki. Banyak yang memutuskan untuk makan siang di tempat ini. Sungguh sensasi yang luar saat duduk di tepi sungai yang hampir seluruhnya adalah batu.
Sepertinya sungai ini menjadi salah satu titik yang menarik dalam pendakian ke gunung Bawakaraeng. Kabut yang bergerak terbawa angin tampak sangat jelas di mata. Maka tak heran jika banyak yang mengabadikan diri dalam sebuah gambar di tempat ini. Tak terasa hampir satu jam kami menikmati sungai ini, dan pada pukul 14.25 tim melanjutkan perjalanan. Dua pos berikutnya (9 & 10) didominasi oleh tanjakan. Hampir tidak ada track menurun sepanjang jalur ini. Tubuh kembali dipacu dengan gaya gravitasi, tak heran jika gendang telinga sesekali berdenyut, hal tersebut menandakan perubahan ketinggian yang signifikan.
Saat mendekati puncak, kabut di atas kepala seakan kian menebal. Sesekali langit memperdengarkan gemuruhnya. Bahkan beberapa titik air jatuh menerpa tubuh kami. Walau berharap tidak akan turun hujan, ponco yang sedari tadi tersimpan rapi kini mulai dikeluarkan. Terlihat beberapa kawan pendaki mulai mempercepat langkah guna mengantisipasi turunnya hujan. Tak terkecuali dengan Irwin, Ia memutuskan untuk terlebih dahulu tiba di camp terakhir untuk mendirikan tenda. Kabut yang semakin pekat cukup menyulitkan kami untuk menemukan lokasi tenda.
Setelah makan siang, saya menyempatkan diri untuk naik ke puncak. Dari lokasi camp terlihat jelas apabila sedang tak ada kabut. Di bawah trianggulasi berdiri sebuah tiang bendera permanen yang biasa digunakan saat memperingati hari nasional. Beberapa meter dari tiang bendera tersebut terdapat sebuah kolam berkedalaman sekitar 150 cm. inilah sumber air terdekat dari puncak Bawakaraeng. Saat kemarau, air yang ada di kolam tersebut biasanya keruh. Apa lagi saat musim pendakian, di mana penggunaan air jadi meningkat.
Di ketinggian 2883 mdpl inilah tersimpan banyak alasan oleh banyak orang yang menggapainya. Ada yang sekedar mengaktualisasikan diri, juga ada yang lebih spiritualis. Namanya juga manusia, anak cucu Adam ini memang penuh dengan warna. Namun satu yang pasti, alam adalah tempat di mana kita lebih dekat dengan sang pencipta.
Muh.Ihsan (Iccank)
KC : 23/XXV
KC : 23/XXV
0 Response to "Catatan dari puncak Bawakaraeng"
Posting Komentar