Etnis
Buton, Makassar, Bugis, Madura, Mandar dan Bajau merupakan Masyarakat yang
dikenal dengan Budaya maritimnya. Lima diantaranya tinggal di darat dan
Masyarakat bajau yang sepenuhnya tinggal di laut (sekarang banyak yang sudah
tinggal di darat sebut saja ‘adaptasi’). Klaim sejarah mengafirmasi bahwa
memang etnis-etnis ini memiliki Budaya maritim yang megah. Jika kita menyebut
‘pelaut ulung’ tentu mata akan tertuju pada beberapa etnis diatas. Tapi apakah
sejarah berhak untuk melabeli kelompok masyarakat?, bagaimana jika label pelaut
ulung tersebut hanya berlaku untuk orang-orang di masa lampau?, apakah label
pelaut ulung tersebut masih relevan untuk dikalungkan sekarang ini ?
Perahu yang digunakan dalam Ekspedisi Bajau yaitu perahu sandeq. Dua perahu yang digunakan pada Ekspedisi ini bernama Perahu Riset Nusa Pustaka dan Palippis Indah. Sandeq merupakan salah satu jejak kebudayaan maritim yang masih bertahan hingga sekarang. Nelayan mandar menggunakan sandeq untuk berburu ikan terbang atau dalam istilah lokal Montangga/Matallo. Nelayan mandar tidak memandang sandeq sebagai objek atau alat untuk keberlangsungan hidup, sandeq dianggap sebagai subjek selayaknya manusia yang memiliki perasaan. Ini tentu membingungkan bagaimana bisa benda bisa memiliki perasaan?. Ritual dan kepercayaan terhadap hal mistis sangat lekat dengan Budaya maritim tak terkecuali Masyarakat mandar. Proses Pembuatan perahu, Sebelum Melaut, dan dalam perjalanan selama di laut sarat akan ritual dan aturan-aturan yang berbasiskan kepercayaan. Semua ritual dan larangan tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk keselamatan pelayaran tetapi juga berfungsi sebagai gagasan berwawasan lingkungan. Anggapan bahwa sebuah benda bukan sekedar benda mati akan membawa kita pada sesuatu yang lebih luas tentang keberlanjutan lingkungan. Anggapan mistis terhadap apa yang dilakukan oleh Masyarakat maritim memang tidak bisa dituliskan dalam kaidah ilmiah yang kita pahami sekarang juga tidak bisa diajarkan di dalam ruang kelas perlu pengalaman untuk memahaminya jadi jika tidak berbaur dengan Masyarakatnya anggapan ‘mistis’ tersebut akan terus menerus meracuni perspektif Masyarakat. Contoh paling kerennya bisa kita lihat pada seorang tokoh terkenal Tan Malaka. Mungkin Tan Malaka dengan logika Mistkanya tidak berlaku di Pambusuang atau mungkin saja dia menulis buku madilog yang naif itu tidak berdasarkan data lapangan?.
Pelepasan Ekspedisi ini secara ceremonial dilakukan di Pantai Palippis pada pagi hari 23 November 2023. Setelah acara pelepasan selesai perahu dua perahu yang di gunakan pada ekspedisi ini menuju arah timur dengan tujuan Baoje. Secara administratif Bajoe terletak di desa Rea Kecamatan Binuang Sulawesi Barat. Bajoe dijadikan sebagai Etape dalam ekspedisi ini karena secara toponimi sudah tergambarkan kaitannya dengan perjalanan yang dilakukan. Pantai Bajoe telah ditanggul dengan tujuan melindungi daratan dari air pasang yang sampai ke pemukiman. Hal ini cukup menarik kerana manfaat dari tanggul yang dipasang hanya dirasakan oleh manusia Tidak dengan Pantai dan laut sekitarnya. Tanggul akan menyebabkan pengurangan garis Pantai, yang disebabkan sedimen yang dibawa oleh ombak terhalang oleh tanggul. Mengurangnya garis Pantai juga diikuti dengan ekosistem disekitarnya menjadi rusak. Yang pada ujungnya berdampak pada Lokasi penangkapan ikan nelayan.
· Sandeq
dan Eksistensinya
Hal serupa juga terjadi di pambusuang, menurut
Ridwan hadirnya tanggul di Pambusuang tidak hanya mengubah ekosistem laut
tetapi juga berdampak pada pada kebudayaan sandeq. Memang penyebab mulai
hilangnya kebudayaan sandeq di Masyarakat pambusuang tidak hanya disebabkan
oleh berdirinya tanggul. Tetapi setidaknya tanggul yang dibangun oleh
Pemerintah Sulawesi Barat turut andil dalam memperkeruh pemahaman Masyarakat
tentang sandeq. Beberapa orang di Pambusuang yang memiliki sandeq harus
melabuhkan perahunya di tempat yang lumayan jauh dari pambusuang. Dalam
beberapa kesempatan Pua pia yang menjadi kapten kami ketika berlayar
mengeluhkan anak muda yang mulai kehilangan pengetahuan tentang sandeq dan
bagaimana melayarkannya. Kanne kawan dan guru kami selama pelayaran juga
bercerita tentang bagaimana proses yang ia lalui sampai bisa menjadi seorang
pasande’. Ada peraturan tak tertulis diatas perahu ketika berlayar, ketika
malam tiba sawi yang masih muda harus berjaga, dengan istrahat yang terbilang
sedikit ia juga harus mempersiapkan hal-hal penunjang ketika matahari terbit
seperti memasak makanan dan air panas, karena punggawa dan sawi lain yang telah
memiliki pengalaman harus bertugas seharian. Penjagaan malam hari dan
menyiapkan konsumsi bukanlah hal yang sulit jika dibantingkan dengan mengemudi
ditengah ombak seharian. Sesekali sawi muda akan diberikan tanggung jawab untuk
mengemudi untuk mengasah keahliannya. Kanne telah melaut sejak usia 15 tahun
dan mahir dalam pelayaran pada usia 19/20 tahun. Untuk menjadi pesande kanne
melalui proses panjang dan cukup melelahkan diatas perahu, tapi itu memang
perlu dilakukan karena di laut kaki tidak berpijak di tanah dan tidak ada
pegangan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Uraian tentang tanggul dan
proses panjang untuk menjadi pasande’ memberikan kita Gambaran bagaimana sandeq
mulai meredup. itu baru dua faktor masih banyak lagi konstruksi Masyarakat yang
membantu mempercepat punahnya kebudayaan sandeq ini. yang jelas Masyarakat
mulai enggan dengan sandeq karena dalam penggunaannya lebih melelahkan
dibanding perahu bermesin tanpa layar, dan Pemerintah Sulawesi Barat mencoba
menghilangkan habitat asli sandeq dengan Langkah tanpa pertimbangan yang telah
diambil.
· Layaknya
Wanita Laut Sulit Ditebak
Setelah sehari beristirahat di Bajoe tujuan kami
selanjutnya yaitu pulau salemo yang pada masa Kerajaan Gowa berkuasa orang
Bajau di sini dipergunakan untuk mencari hasil laut seperti penyu, teripang dan
sebagainya. Sekitar pukul 05.34 kami berangkat dari Bajoe. Kondisi laut sangat
tenang, setelah melewati gusung toraja tepatnya 2 mil ke arah tenggara dari
Bajoe ombak mulai tinggi disertai angin cukup kencang. Beberapa kali ombak yang
datang naik ke atas perahu. Mungkin saja laut tenang saat keberangkatan
disebabkan gugusan pulau-pulau kecil menjadi pemecah ombak alami saat berada di
sekitar Bajoe. Ciri khas pemilihan tempat tinggal orang bajau memang seperti
itu mereka memilih pulau-pulau kecil dekat daratan utama. Setidaknya kami tahu
alasan pemilihan tempat tinggal tersebut. Belum jauh berlayar kami harus menepi
karena salah satu perahu mengalami kerusakan mesin. Sempat terjadi perdebatan
diatas perahu dimana kami harus menepi. Saking lamanya perdebatan tempat yang
ditawarkan oleh pua pia untuk menepi terlewat dan secara otomatis pilihan untuk
menepi di Pantai silopo tersepakati. Begitulah kiranya pengambilan Keputusan
tertentu di atas perahu. Keputusan punggawa atau kapten itu tidak mutlak bisa
di diskusikan. Ini berlaku untuk hal-hal tertentu karena ada Keputusan punggawa
yang memang mutlak. Setiba di silopo mesin yang rusak diperbaiki. Ini cukup
memakan waktu, pasalnya pulau salemo yang dituju masih berjarak sekitar 35 mil.
itu sangat jauh mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 12.00. Baru pada
sekitar pukul 01.00 siang kami melanjutkan perjalanan perencanaan pun berubah. Lokasi
berlabuh yang sebelumnya seharusnya di pulau salemo dipindahkan ke ujung lero.
Sebuah tanjung yang berada di depan Kota Pare-Pare. Perjalanan dari Pantai
Silopo ke Ujung Lero menghabiskan waktu sekitar 12 jam. Pada Sore hari kami
melintasi dearah laut pinrang tepatnya di peisir desa Salipolo. Lautnya unik
dengan perubahan warna dari biru laut ke coklat. Warna coklat tersebut
dipengaruhi oleh aktifitas tambang pasir di hilir Sungai sa’dang. Sekitar 7 jam
dari laut coklat yang kami lewati barulah kami tiba di Ujung Lero. Pukul 11
lewat tepatnya kami langsung makan malam dan beristirahat.
· Tidur
Pulas dengan Hujan dan Angin
Ketika beristirahat dengan pulas setelah berlayar
malam pertama yang kami lalui, kami tidak ingat lagi tepatnya pukul berapa
hujan dan angin mulai turun. Hujan rasa-rasanya datang secara horizontal dan
masuk membasahi baju yang telah diganti dan dipersapkan hanya untuk tidur.
hujan yang membasahi kami terbawa serta oleh angin yang bertiup dari arah barat
laut sehingga arah turun hujan tidak vertikal. Dengan kondisi tersebut kayang
(atap rumbia yang kami jadikan pelindung) hanya berfungsi 30%. Tidak ada jalan
lain kami harus beristirahat karena perjalanan akan kami lanjutkan pagi buta.
Jas Hujan yang disediakan menjadi satu-satunya alternatif untuk tidur ditengah
hujan. Formasi ketika tidur akan mempengaruhi banyak tidaknya hujan yang
diterima setiap orang ketika beristirahat. Formasi tidur diatas perahu terbagi
atas tiga orang di bagian depan baratang belakang (penghubung cadik kiri
dan kanan) dua orang di belakang Baratang belakang dan satu orang di
belakang (dekat tempat kemudi). Begitulah sekiranya pembagian posisi tidur
untuk perahu Palippis Indah perahu yang kami gunakan. Ketika hujan datang
perahu akan menghadap arah datangnya ombak, angin dan hujan yang datangnya dari
arah yang sama. Dengan kondisi tersebut menyebabkan tiga orang yang berada di Baratang
depan akan lebih banyak, menerima air hujan yang datang dibandingkan dengan
bagian lain. Meskipun begitu semua bagian akan basah ketika hujan dan angin
sangat kencang. Bagaimanapun juga kami harus berdamai dengan kondisi ini karena
tentu saja hujan angin dan kencang akan menyertai perjalanan ini mengingat kami
melakukan ekspedisi di bulan November-Desember yang merupakan waktu awal
datangnya musim barat.
· Bahkan
Ingatan Kolektif ikut Hilang
Hari masih sangat pagi bahkan matahari belum
menampakkan diri, kami sudah mulai melanjutkan perjalanan. Setelah sekitar 9
jam perjalanan pulau salemo secara samar mulai terlihat. Menurut pua pia pulau
salemo disebut demikian karena dari kejauhan tepatnya dari arah utara pulau
tersebut terlihat seperti jeruk (lemo/lemon). Bentuk jeruk pulau salemo
merupakan salah satu penanda navigasi ketika nelayan mandar montangnga ke arah
selatan.
Berlayar di pulau-pulau spermonde memiliki tantangan tersendiri karena posisi karang-karang di Kawasan ini tersebar tak beraturan dan berbahaya bagi perahu. Jika salah dalam pemilihan jalur di Kawasan spermonde kemudi akan membentur karang dan bisa patah atau lebih parah. Warna laut yang berbeda pada satu titik merupakan salah satu penanda kedalaman ketika berlayar. “Warna biru muda menandakan area yang dangkal biasa tempat tersebut adalah karang atau gusung warna biru tua menandakan area yang cukup dalam dan aman untuk dilalui perahu” sekiranya begitulah ilmu yang dibagikan dari kak Guswan kepada kami. Setelah berkelok-kelok melewati beberapa gugusan karang tibalah kami di Pulau Salemo. Di pulau ini menurut catatan sejarah ditempati oleh orang bajau yang sering dipergunakan oleh Kerajaan Gowa untuk mencari kulit penyu dan teripang. Sesampainya di pulau salemo kami langsung bergegas mencari informasi orang bajau. setelah berkeliling kami berkesempatan bertemu dengan orang paling tua dan dituakan di Desa Mattirobombang tersebut. Informan kami Bernama Sayyid Abdullah Aliyah Almahdali pria, dengan usia senja namun masih terlihat semangat dan sehat ketika kami berbincang. “Tidak ada orang Bajau disini sejak saya datang belajar agama disini sampai saya menikah dengan orang pulau ini” begitulah ujar pria 78 tahun tersebut. Pak abdullah menetap di Pulau Salemo mulai tahun 1960-an dan catatan perjalanan seorang Belanda yang menuliskan kegiatan orang bajau di pulau Salemo itu 1300-an. Mengingat kebiasaan hidup orang bajau yang selalu berpindah wajar saja tidak ada lagi yang ingat tentang para gypsi laut tersebut.
· Palu-Palu
Raksasa Kota Makassar
Setelah kami memperbarui data terkait keberadaan
orang bajau di pulau Salemo kami langsung bertolak ke Makassar sekitar pukul
dua siang hari. Sore hari dari kejauhan Gedung-gedung besar mulai terlihat
sekaligus menjadi penanda sebentar lagi kami sampai di Makassar. Tepatnya kami
berada di depan kabupaten Maros, Daerah terakhir sebelum mencapai Makassar dari
Sulawesi Barat. uniknya tidak ada perahu-perahu kecil nelayan sedang parkir
atau memancing ikan di sekitar laut Maros sangat berbeda dengan Pambusuang sampai
di Pinrang. mungkin karena ini adalah awal musim barat atau memang dilarang
oleh pemerintah atau nelayan takut mengingat wilayah laut Maros-Makassar
merupakan jalur lalu lintas laut yang dilewati kapal-kapal besar yang datang
dari arah Barat. setelah melintasi pohon Bakau di hampir sepanjang Pantai
Maros, baru pada malam hari kami betul-betul dekat dengan Gedung-gedung besar
yang kami lihat di sore tadi itupun belum sampai. Sepanjang laut Kota Makassar
Kapal-kapal besar parkir dimana-mana. Siluet kapal raksasa yang disinari Cahaya
terang dari Kota Makassar menimbulkan rasa ngeri karena perahu yang kami
gunakan hanya berukuran 10-11 meter. tak terbayang jika kami ditabrak atau
menabrak.
Di antara kapal-kapal besar tersebut sebelum sampai
di Pantai Bosowa untuk sandar, suara bising dari tumbukan dua benda raksasa
memekakan telinga. Itu adalah paku bumi atau biasa juga disebut pasak bumi yang
sedang dalam proses penanaman. Paku bumi biasa digunakan sebagai penyangga bangunan
yang akan didirikan diatas laut atau sebaga pondasi sebelum laut di reklamasi
atau ditimbun. Metode untuk menanamkan paku bumi tersebut sangat tidak ramah
untuk telinga karena suara bising yang diciptakan ketika proses penanamannya. Ukuran
paku bumi tersebut seperti tiang Listrik dengan ukuran yang lebih besar. Alat
untuk menumbuk paku bumi tersebut tentu ukurannya minimal sama atau lebih
besar. Setelah menyaksikan proses penumbukan paku bumi yang berisik, kami tiba
di Pantai Bosowa.
· Rumput
Laut Jeneponto
Sambutan hangat oleh beberapa kakak kami saat kami
tiba di Pantai Bosowa menjadi Pelepas penat. Setelah bercengkrama kami langsung
istirahat. Istrahat kami di Pantai Bosowa cukup tenang karena tidak terguncang
oleh ombak angin dan hujan seperti di ujung lero. Keesokan harinya kami
berangkat ke Pulau Kodigareng yang merupakan salah satu pulau yang memiliki
catatan tentang orang Bajau. Berdasarkan catatan sejarah orang Bajau di Pulau
Kodingareng sangat terampil dalam mempersiapkan teripang yang akan di jual. Teripang
hasil olahan orang Bajau di kodingareng memiliki kualitas yang bagus dan sangat
terkenal di perniagaan Cina. Orang Bajau di Kodingareng tetap memenuhi
kebutuhan hidup sebagai nelayan tetapi tidak lagi melaut mencari teripang
seperti para pendahulu mereka.
Setelah pengumpulan data di Pulau Kodingareng Haluan
di arahkan ke tenggara mengarah ke jeneponto. Setelah melewati laut takalar
kami mulai melewati banyak ladang rumput laut yang diapungkan menggunakan botol
bekas diikat tali. Semakin dekat ke arah pusat Jeneponto semakin banyak
pelampung rumput laut yang bertebaran. Sore hari di laut depan kecamatan
Bangkala sebuah teluk di Jeneponto, awan penanda datangnya angin kencang mulai
membumbung di langit, kami harus masuk ke teluk jika ingin terlindung. Keputusan
ini langsung diambil karena ‘laut tidak bisa dilawan’. Perencanaannya kami akan
beristirahat di perbatasan Jeneponto-Bantaeng agar lebih dekat ke Tana Beru.
Namun perencanaan tidak bisa dipaksakan di atas laut, dalam penyusunan
perencanaan juga angin kencang yang akan datang tidak bisa disertakan sebagai pertimbangan.
Pelampung rumput laut hampir menutupi seluruh jalur masuk ke arah Pantai, belum
lagi alat tangkap sero dengan kayu-kayunya yang berdiri sebagai salah satu
penanda laut dangkal semakin menutup jalan masuk. Perahu berkelok kelok
menghindari ladang rumput laut agar tidak tersangkut di palatto (salah
satu bagian cadik). Pada satu titik kami kebingungan karena hampir tidak ada
lagi jalan masuk karena tertutupi oleh botol plastik yang saling diikatkan
sebagai pelampung rumput laut. Untungnya ada nelayan yang membantu kami dengan
menunjukkan jalan masuk untuk berlabuh.
· Salah
Parkir
Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan menuju
Tana Beru, Bulukumba yang merupakan tempat pembuatan kapal pinisi salah satu
kapal yang terkenal di Indonesia. Perjalanan dari Bangkala, Jeneponto sampai ke
Bulukumba memakan waktu 10-11 jam. Tepatnya pada pukul 15.30 kami sampai di
Tana Beru, Kapal langsung di parkir di depan sebuah Bantilang (tempat
pembuatan kapal), karena rencanannya kami akan menginap paling lama dua hari di
tana beru untuk melihat pola pasang surut air laut. Proses parkir perahu cukup
menguras tenaga entah memang berat atau kami yang terlalu kelelahan. Persediaan
bekal di dalam perahu memang terbilang banyak. Bergalon-galon air,
jerigen-jerigen bahan bakar, dan persediaan lainnya membuat perahu tambah
berrat untuk didorong. Sementara kami mendorong perahu seorang lelaki dengan
usia yang cukup tua menghampiri kami dan memperingatkan untuk mendorong perahu
lebih jauh ke atas karena menurutnya perahu akan terbawa ombak jika air pasang.
Batas air pasang memang sudah teramati melalui sampah-sampah yang terkumpul dan
membentuk garis di sepanjang pasir Pantai. Tetapi belum sampai setengah badan
perahu melewati sampah penanda tersebut, cadik perahu sudah di topang dengan
bambu penyangga agar Palatto tidak menyentuh tanah. Setelah perahu
terparkir semua tim bergegas untuk bersih-bersih karena aroma khas badan mulai
tercium setelah beberapa hari tidak mandi. Ketika air mulai pasang di malam
hari angin kencang yang di sertai ombak juga ikut datang. Perahu pun mulai
bergeser dari kedudukannya yang semula mau tidak mau perahu harus kami dorong
lagi naik agar tidak terbawa ombak. Baju bersih nan wangi yang baru kami
kenakan Kembali basah lagi karena tidak mendengarkan peringatan dari pria tadi.
· Habitat
asli Pinisi
Jalur yang di tentukan untuk Ekspedisi Bajau ini
tidak hanya menyinggahi tempat-tempat yang memiliki narasi kuat tentang Orang
Bajau atau suku sama, tetapi juga tempat yang memilik keterkaitan dengan
perkembangan kebudayaan maritim Sulawesi. Bulukumba, tepatnya ara, Bira, serta
Lemo-Lemo/Tana Beru, merupakan salah satu tempat yang menjadi saksi tumbuh
kembangnya Budaya Maritim di Indonesia. Tempat ini menjadi tempat lahirnya Kapal
seperti Padewakang, dan pinisi, yang melalukan pelayaran se-antero Nusantara untuk
memobilisasi hasil-hasil bumi untuk diperdagangkan, serta ke Autralia untuk
mencari teripang. Pembuatan pinisi merupakan repepresentasi dari orang
Lemo-Lemo sebagai panrita lopi (ahli pembuatan kapal), orang Bira
sebagai pelaut, dan orang Ara sebagai pengrajn kayu. Ketiga Masyarakat ini
saling mengisi kekosongan masing-masing dalam pembuatan Kapal, karena orang
Lemo-Lemo hanya bisa merancang dan mempunyai visi yang bagus untuk Kapal yang
akan dibuat tetapi tidak bisa melayarkan perahu, orang Bira tidak bisa membuat kapal
tetapi dapat melayarkan perahu dan orang Ara pandai dalam pertukangan.
Lahirnya Kapal Pinisi yang dengan teknologi
pelayarannya, telah terbukti setidaknya sejak abad 19, disebabkan determinasi
lingkungan yang menuntut hal tersebut. Secara Geografis ketiga daerah
(Lemo-Lemo, Bira dan Ara) tidak memiliki lahan yang cukup untuk menunjang
pertanian. Lahan kering lagi tandus yang di ditumbuhi padang rumput dan Semak
belukar, serta gugusan batuan karst yang membentang mengharuskan Masyarakat
mencari alternatif agar mempertahankan kehidupannya. Dengan kondisi geografis
seperti itu mereka harus sebisa mungkin beradaptasi dengan lingkungan, bentuk
adaptasi yang dilakukan dengan menjadi pengrajin kayu dan menguasai kemampuan
pelayaran.
Selama dua hari berada di Tana Beru kami banyak
menghabiskan waktu di bantilang milik pak Najib atau kerap disapa dg.
Najib. Dialah yang memperingati kami untuk mendorong perahu lebih jauh ke
daratan ketika baru tiba. Pak Najib merupakan seorang pembuat kapal, meski
begitu dia tidak mau melabeli dirinya sebagai Panrita Lopi walaupun dia
seorang anak dari seorang panrita. “saya masih mencintai Wanita selain
istri saya sendiri” ujar pak Najib ketika ditanya kenapa dia tidak mau mengaku
sebagai panrita. Secara harfiah panrita lopi berasal dari bahasa
Makassar yang berarti ahli pembuat kapal, sekiranya begitulah terminologinya.
Berdasarkan keterangan dari Pak Najib untuk menjadi seorang panrita lopi bukan
hanya tentang menguasai kemampuan membuat kapal, tetapi juga harus bersih dari
hal-hal yang bertentangan dengan moralitas.
Pagi hari tanggal 28 November 2024 kami bergegas
untuk berangkat menuju Pantai Panrangluhu yang berjarak cukup dekat sekitar 11
mil dari Tana Beru. Malam sebelum kami berangkat pak Najib menyuruh kami untuk
melewati tanjung bira sebelum jam 10 pagi karena ketika air mulai surut akan
terjadi pertemuan arus di tanjung tersebut. Pertemuan arus tersebut akan
menyulitkan perahu bahkan bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sepanjang
Pantai dari Tana Beru Sampai Panrangluhu didominasi oleh tempat wisata dengan
villa-villa yeng dibangun di pinggir Pantai. Memang di sepanjang Pantai
tersebut menyajikan pemandangan indah dengan gugusan batuan sepanjang pantai
pasir putih menjadi daya Tarik tersendiri bagi pelancong yang berkunjung.
Ketika melintas di tanjung bira pertemuan arus tersebut mulai terlihat
membentuk ombak-ombak yang tak jelas arahnya, yang biasa di sebut juga dengan
kala-kala. Ketika kami melintas kala-kala yang terbentuk masih kecil karena air
baru akan mulai surut. Setelah melewati tanjung Bira dar kejauhan bantilang
mulai terlihat, menandakan kami sebentar lagi tiba di Panrangluhu.
· Pengetahuan
lokal berbasis lingkungan
Setiba di panrangluhu
pada sekitar pukul kami langsung menyeburkan diri ke laut karena sangat jernih
dan hampir tidak terdapat sampah. Setelah berenang beberapa dari kami
melaksanakan ibadah dan sedikit bersantai. Disela kami bercerita lepas seorang
warga datang menghampiri karena penasaran sandeq dengan perahu yang sementara
berlabuh. ‘sandeq dari mandar’ ujarnya ketika menghampiri kami yang sedang
duduk menikmati waktu santai. Dia langsung bisa mengenali sandeq ketika
melihatnya, berbeda dengan kebanyakan Masyarakat yang kemi temui
sebelum-sebelumnya yang tidak tau dengan perahu sandeq dan menganggap sandeq
sebagai perahu berbahan viber karena warna putih yang di cat rapi yang terlihat
seperti viber. Setelah beberapa saat mendengar cerita tentang perjalanan kami
sampai di Panrangluhu, pria yang berprofesi sebagai nelayan tersebut mulai
berbagi keresahannya sebagai nelayan. Dia mengeluhkan tanggul yang dibangun di
sepanjang pantai panrangluhu. Tanggul yang dibangun memang tidak tinggi tidak
pula sepenuhnya menahan ombak yang datang seperti yang ada di Pambusuang.
Tetapi dengan adanya tanggul kecil tersebut tetap mempengaruhi ombak yang
mengalir ke arah daratan, yang pada gilirannya mengganggu pertumbuhan karang
sebagai tempat tinggal ikan-ikan. ‘sebelum ada tanggul ombak di pantai bisa
sampai sana’ sambil menunjuk ke arah rumahnya yang berjarak sekitar 30 meter
dari tanggul ‘tapi ketika ada tanggul memang ombak tidak sampai ke rumah tapi
kita yang nelayan yang jauh ke luar (laut) untuk menangkap ikan. Seharusnya
ombak tidak bisa di tahan dia punya hak untuk tetap mengalir karena begitulah
dia’ ujarnya dengan semangat membagikan pengetahuan yang ia dapatkan
berdasarkan pengalamannya.
· Perjalanan
Penjang dari Kaki Belakang ke Kaki Depan Sulawesi
Malam hari selepas istirahat tepatnya pada jam
01.00 kami melanjutkan perjalanan menuju Sulawesi Tenggara. Dari pantai
Panrangluhu kami bertolak menuju pulau sagori melintasi teluk Bone. Karena
jaraknya yang jauh kami harus berangkat di malam hari agar tiba pada siang
hari. Kami akan kesulitan jika berlabuh pada malam hari pasalnya sebaran karang
disekitaran pulau tempat berlabuh yang lokasinya tidak terlihat pada malam hari
akan membahayakan perahu. Jarak antara Panrangluhu ke pulau Sagori sekitar 80 mil
dan menghabiskan 14 jam perjalanan untuk sampai. Belum jauh meninggalkan pantai
ombak mulai tinggi datang dari arah timur laut, sesekali ombak yang datang naik
ke atas perahu. Itu tidak menjadi masalah untuk sandeq karena konstruksinya
memang dirancang untuk menghadapi ombak besar.
Perahu-perahu yang di buat di Sulawesi Barat baik
itu sandeq atau perahu Pa’gae (perahu penangkap ikan), memiliki
bentuk-bentuk untuk mengatasi ombak besar ketika berlayar di lautan. Bagian
geladak sandeq sepenuhnya tertutup dengan dua sampai tiga penutup palka sebagai
akses ke geladak. Begitu pula pada kapal pa’gae dari sulbar berbeda
dengan kapal pa’gae dari daerah lain di Sulawesi Selatan. Kapal pa’gae
dari sulbar pada bagian pancong depannya berbentuk runcing dan agak mekar
kesamping, hal ini berfungsi sebagai penahan ombak yang datang dari arah depan
sehingga tidak masuk ke dalam kapal. Konstuksi seperti demikian pada perahu
atau kapal disebabkan oleh posisi Sulawesi Barat yang berhadapan dengan laut
dalam Selat Makassar dengan ombak-ombaknya yang tinggi. Lalu apa bedanya dengan
Makassar kenapa perahunya tidak memiliki sistem konstruksi yang sama? Makassar
juga berhadapan dengan Selat Makassar? Tentu berbeda, di Makassar pada bagian
baratnya terdapat pulau-pulau dan ekosistem karang yang besar spermonde yang
menjadi pemecah ombak alami sedangkan Sulawesi Barat tidak terdapat hal
tersebut. Kondisi tersebut mengharuskan pelaut memilki konstruksi tertentu pada
perahu atau kapalnya untuk mengatasi ombak yang akan di hadapi di lautan.
Ditengah pelayaran malam hari menuju pulau Sagori
ombak yang menyentuh palatto dan bagian-bagian lain perahu menyala
berwarna biru. Titik-titik kecil berwarna biru ketika ombak pecah yang
menyentuh bagian-bagian perahu cukup menjadi salah satu pengalaman berharga
bagi kami karena untuk pertama kali kami melihat air laut yang bisa menyala. Fenomena
ini dikenal dengan bioluminescent plankton. Plankton yang ada di lautan akan
bereaksi menimbulkan cahaya ketika teganggu oleh gerakan ombak atau perahu yang
melintas. Selain menyajikan pemangan indah fenomena ini juga menjadi penanda
bahwa lautan yang terdapat plankton-plankton tersebut memiliki ekosistem yang
baik atau masih sehat. Sesekali pecahan ombak yang naik ke atas perahu berwarna
biru dan ketika dipegang itu hanya air. Setelah 5 jam meninggalkan pantai
matahari pun mulai terbit tetapi ombak masih menggoyangkan perahu sampai
sekitar jam 9 pagi. Ketika ombak mulai mereda kami langsung menyiapkan makanan
walau perahu masih terombang-ambing kiri kanan setidaknya ombak sudah tidak
naik ke atas perahu.
Sekitar pukul 12 siang samar terlihat pulau di arah
timur setelah dari pagi kami hanya melihat air laut dengan ombaknya. Dalam
ekspedisi ini kami menggunakan aplikasi yang menyediakan layanan peta dengan
keterangan posisi real time untuk bernavigasi, tentu dengan bantuan
kompas untuk mengunci arah tujuan. Penyeberangan dari Sulawesi Selatan ke
Sulawesi tenggara memberkan kami gambaran bagaimana pelaut dahulu kala
melakukan navigasi selama berlayar melintasi kepulauan di Nusantara. Ketika
kami meninggalkan daratan untuk menyeberang ke Sulawesi Tenggara tentu kami
akan berada dalam kondisi tidak dapat melihat satupun pulau atau daratan untuk
dijadikan patokan bernavigasi. Setelah daratan Bulukumba tidak kelihatan dengan
mengunci arah Haluan kami akan melihat pulau lain secara samar di daerah tujuan
dan menjadikan pulau tersebut sebagai arah tujuan untuk sampai ke pulau atau
daratan berkutnya. Mengkin begitulah gambaran para pelaut zaman dahulu sebelum
aksesesibilitas peta dan kompas seperti sekarang. Mereka memanfaatkan perairan
Nusantara dengan gugusan pulau-pulau yang meski jaraknya jauh tetapi tetap akan
terlihat ketika pulau tempat keberangkatan mulai tidak kelihatan. Pulau samar
yang kami lihat pada siang hari tersebut adalah pulau kabaena yang sudah termasuk
ke dalam administrasi wilayah Sulawesi tenggara. Dengan pegunungan yang
menjulang pulau ini tentu akan tampak dalam penglihatan meski dari jauh bila
cuaca mendukung. Sebelum memasuki Pulau Sagori kawanan lumba-lumba menyambut
kedatangan kami di Sulawesi Tenggara. Kawanan lumba-lumba penyambut ini
melompat-lompat seakan mengucapkan selamat datang untuk kami.
· Pulau
Kecil Kaya Raya
Sekitar pukul tiga sore hari kami berada tepat di
sebelah utara Pulau sagori langsung melabuhkan perahu. Setelah perahu terparkir
kami mencari orang yang dapat kami wawancarai dan bertemulah kami dengan kepala
kampung di pulau tersebut. Kepala kampung tersebut adalah orang buton yang
telah lama menjadi kepala kampung disana. Orang Bajau di pulau sagori juga
kebanyakan menjadi nelayan. Mereka mengumpulkan hasil laut dari karang-karang
sekitar pulau Sagori seperti gurita, ikan pari, dan hasil laut lainnya. Selain
informasi tentang orang Bajau kepala kampung juga membagikan informasi tentang
adanya kapal karam yang ada di sekitar pulau tersebut. Dia tidak mengetahui
pasti kapal itu berasal dari mana dan kenapa banyak orang yang datang menyelam
untuk melihat kapal tersebut. Pulau Sagori juga sering dijadikan sebagai spot
penyelaman bagi para wisatawan yang ingin melihat keindahan ekosistem
karang yang masih terjaga dengan baik. Selain keindahan gugusan karang para
penyelam juga menggunjungi kapal karam yang ada di sekitar pulau tersebut.
Kapal karam tersebut merupakan kapal milik VOC yang tenggelam dalam perjalannya
dari Batavia menuju Ternate pada abad 17. Lima kapal yang mengalami kecelakaan
tersebut antara lain Aechtekercke (100 ton), Bergen op Zoom (berdaya angkut 300
ton), De Joffer (480 ton), Luijpaert (320 ton), dan Tijger. Pulau Sagori selain
memiliki ekosistem terumbu karang yang masih sehat juga menyimpan artefak yang
menjadi bukti perjalanan sejarah Nusantara.
Menurut penuturan dari kepala kampung sudah ada
orang yang mengajukan pulau Sagori akan dikelola sebagai tempat wisata karena
melihat potensi besar di pulau ini. mungkin itu Balai Pelestarian Kebudayaan
wilayah 19 yang bertugas di Sulawesi Selatan dan Tenggara dalam pemajuan
kebudayaan baik budaya bendawi maupun budaya tak benda. ‘adanya saja rompong
(salah satu alat penangkap ikan) di lautan sudah cukup menyusahkan kami untuk
menangkap ikan apalagi ditambah pembatasan untuk tidak beraktifitas di
sekitaran perahu karam tersebut’ ujar pak kepala kampung. Ia tak setuju jika
tempat itu dijadikan sebagai tempat wisata karena akan semakin membatasi ruang
gerak para nelayan untuk mencari ikan, pasalnya jika kapal karam tersebut
dijadikan sebagai tempat wisata budaya akan memunculkan zona-zona sebagai
pembatas aktifitas. Setelah pulau Sagori kami menuju pulau Maginti yang berada
di sebelah timur laut pulau sagori.
· Pulau
Para Pencari Teripang
Pulau Maginti berjarak sekitar 43 mil dari pulau
Sagori. Pulau Maginti menunjukan ciri sebagai hunian kesukaan orang bajau, yang
mana terdapat terumbu karang dan hutan bakau disekitar pulaunya. Masyarakat di
pulau Maginti tidak hanya terdiri dari orang Bajau tetapi juga terdiri dari
orang muna dan bugis. Orang bajau di pulau Maginti bisa berbahasa bugis dan
bahasa muna. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Horst Liebner orang Bajau
di teluk bone dapat menguasai bahasa Bugis dikarenakan dominasi budaya terhadap
masyarakat Bajau sehingga mereka harus menyesuaikan. Salah satu bentuk adaptasi
yang mereka lakukan yaitu penyesuaian terhadap Bahasa dominan yang dipakai
untuk berkomunikasi. Nampaknya hal serupa juga terjadi dengan orang Bajau di
pulau Maginti.
Ketika kami naik ke pulau untuk berbelanja ada
seorang ibu-ibu yang langsung menyapa kami dan mengira kami adalah orang Bajau
karena melihat ula-ula (bendera simbol identitas orang Bajau) yang kami
kibarkan di salah satu perahu. Ia sangat senang melihat kami dan mengajak kami
ke rumahnya untuk berkunjung. ‘Kami bukan orang Bajau bu kami hanya melakukan
pelayaran riset tentang orang Bajau’ jawab salah satu tim ekspedisi, namun dia
tetap mengajak kami berkunjung ke rumahnya, mungkin karena merasa bangga dengan
ula-ula yang yang kami kibarkan di perahu.
Masyarakat pulau Maginti masih melakukan perburuan
teripang sampai ke Australia dengan perahu bermotor. Dengan menggunakan perahu
yang di cat gelap (hitam/abu-abu) mereka melintasi perairan dari Sulawesi
Tenggara menuju Kupang lalu menyeberang ke bagan utara Australia. Warna gelap
peda perahu mereka berfungsi sebagai kamuflase dari pengawas laut Australia.
Jika mereka berhasil mengumpulkan teripang dan kembali ke Indonesia, mereka
akan meraup keuntungan sampai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Nasib buruk
jika mereka tertangkap oleh pihak keamanan Australia perahu akan dibakar dan
mereka akan dikembalikan ke Indonesia. Kabar paling baru tentang Perahu nelayan
yang dibakar di perairan Australia setidaknya dirilis pada agustus 2024. Peter
Gerald Spillett seorang sejarawan Australia mengatakan, sebelum bangsa Eropa
masuk ke Australia, nelayan Sulawesi sudah pergi-pulang ke tanah Aborigin itu
sejak abad ke-17 untuk berburu teripang. Mereka mendarat di Arnhem, sisi utara
Australia. Para pelaut Sulawesi pada abad 17 sudah melakukan perburuan teripang.
Teripang (Holothuroidea) adalah sejenis hewan laut berbentuk mentimun.
Harganya mahal. Teripang itu dijual ke saudagar China sebagai bahan makanan
kering bernama haisom atau bechedeme.
· Rata-Rata
Pemerataan
Setelah pulau Maginti
kami menuju pulau Balu yang berjarak 11 mil ke arah timur laut dari pulau
Maginti. Ekspedisi Bajau Sulawesi dilakukan bertepatan dengan waktu pilkada,
beberapa pulau yang kami singgahi mengira kami adalah tim sukses yang sedang
membawa uang serangan fajar dari paslon yang akan bertarung di pilkada. Ketika
kami tiba di pulau Balu respon aneh nan lucu mewarnai masyarakat pulau ketika
melihat kami tiba. Para ibu-ibu dengan senyuman yang menyiratkan makna ‘adakah
serangan fajar’ langsung mendekat ke pantai atau pelabuhan tempat kami
sandarkan perahu terus menunggu hingga kami naik ke pantai. Para ibu-ibu yang
berkumpul langsung bubar ketika mengetahui kami hanya melakukan riset terhadap masyarakat
Bajau. hal ini terjadi di beberapa pulau yang kami singgahi sebelum pilkada
dilaksanakan. Mungkin wajar saja para masyarakat pulau kecil menantikan
serangan fajar ketika pemilu datang karena hanya itu satu-satunya akomodasi
nyata dari pemerintah menurut mereka. Aksesibilitas masyarakat pulau kecil
sangat jauh berbeda dengan yang ada di daratan besar pulau Sulawesi. Akses akan
listrik, air bersih, dan banyak hal penunjang kesejahteraan masyarakat masih
sangat sulit ditemui di pulau-pulau kecil, belum lagi kecepatan penyebaran
informasi yang mempengaruhi standar hidup yang diinginkan, dan pada gilirannya
berefek pada perilaku Masyarakat pulau-pulau kecil. Mungkin sederhananya
Indonesia terlalu cepat menerima perubahan yang didorong oleh faktor eksternal
tanpa memperhatikan distribusi dari perubahan tersebut sehingga memunculkan
narasi pemecah belah “tidak adanya pemerataan”. Contoh konkrit dapat kita
saksikan di Pulau Balu. Masyarakat di pulau Balu sudah bisa mengoperasikan
telepon pintar. Mulai dari remaja sampai orang tua sibuk dengan HPnya. Hand
phone tentu membutuhkan daya untuk beroperasi, sedangkan pulau kecil sangat
jarang ditemukan sumber listrik untuk bisa mengisi daya HP. Masyarakat pulau
Balu mengatasi hal tersebut dengan mengisi daya yang tertampung di panel surya
pada malam hari dengan instalasi yang sangat berantakan dan berbahaya bagi
masyarakat itu sendiri. Beberapa kali korsleting listrik hasil tampungan panel
surya terjadi ketika malam har kami berada di sana, tentu ini membahayakan bagi
masyarakat. Haruskah kita menyalahkan penduduk setempat karena sudah tau bahaya
masih saja menggunakan HP? Tentu menurut saya tidak. Perilku tersebut merupakan
hasil konstruksi dari luar pulau. Perkembangan di daratan besar juga tentunya
ingin dirasakan oleh masyarakat pulau kecil karena mau tidak mau itulah
konsekuensi kemajuan teknologi. Haruskah mereka disalahkan karena tidak
berfikir akses terhadap pulau lebih sulit ketimbang daratan besar sehingga
banyak elemen-elemen penunjang kemajuan tidak sampai ke pulau? Tentu tidak
karena pemerintah yang punya wewenang di wilayah itu yang harus memikirkan
kesulitan akses tersebut. “karena pemerataan yang diakukan tidak maksimal dan
kita hanya diberikan janji ketika paslon pilgub berkampanye kita ambil saja
uang kampanyenya toh mereka juga tidak memerhatikan kita ketika terpilih”
· Nelayan
Mandar di Kota Kendari
Perjalanan menuju kota Kendari dari pulau Balu
cukup dimanjakan dengan pemandangan gunung berwarna jingga hijau. Itulah
tambang yang telah menggali sumber daya alam dengan menyisakan sedikit
pepohonan sehingga dari kejauhan berwarna seperti demikian. Belum lagi
pemandangan kapal-kapal penarik tongkang raksasa pembawa hasil bumi yang
lalu-lalang, membuat kepala berimajinasi berapa harga sewa kapalnya, berapa
banyak uang yang harus dihabiskan untuk mendistribusikan nikel-nikel tersebut,
berapa biaya produksinya, pasti semua itu dijual dengan harga yang sangat
mahal, betapa kayanya Negeri ini. Sulawesi Tengah dan Sulawesi belakangan
memang terkenal dengan industri ekstraktif raksasa, tidak mengherankan jika
morowali salah satu kabupaten yang ada di Sulawesi Tengah dan berdekatan dengan
Sulawesi Tenggara pada tahun 2021 dinobatkan sebagai daerah dengan pendapatan
daerah terbesar se-Indonesia.
Setiba di Kota Kendari sebuah kapal pa’gae berpapasan
dengan kami sebelum masuk ke Kota Kendari. Para awak kapal langsung berdiri dan
berteriak dan melambai-lambai ke arah perahu yang kami gunakan. Mereka adalah
nelayan mandar yang datang ke Sulawesi Tenggara ketika musim barat tiba.
Perairan di selat makassar ketika musim barat tiba cukup berbahaya bagi para
pelaut namun di sebelah timur Sulawesi tidak sama dengan selat Makassar yang
berada di sebelah barat. Selain musim migrasi ikan juga mempengaruhi mereka
untuk datang ke sebelah Timur Sulawesi untuk memancing tuna.
· Angin
dan Ombak Musim Barat
Setelah singgah di Kota Kendari tim bertolak menuju
pulau Labengki. Perjalanan dari Kendari menuju pulau Labengki memakan waktu
sekitar 7 jam. Tim ekspedisi meninggalkan Kota Kendari sejak pukul dua siang.
Setelah sekitar tiga jam perjalanan awan hitam pembawa hujan mulai membumbung
menyerupai tsunami datang dari arah barat. tak lama berselang angin dan hujan
mulai datang.ombak perlahan mulai meninggi, sesekali sejajar dengan baratang
(bagian cadik, penyambung palatto kiri dan kanan). Ombak sekitar
1-1.5meter malam itu cukup menyulitkan karena dalam kondisi hujan jarak pandang
menjadi terbatas. Untung saja sebelum malam dan pulau Labengki tidak lagi
terlihat arah ke 30derajat dikunci agar Haluan tidak melenceng. Sesekali kami
kehilangan posisi perahu Pustaka yang berada di depan kami. Sekitar pukul tujuh
malam, cahaya terang dari kejauhan mulai terlihat. Perahu di arahkan menuju
Cahaya tersebut, kebetulan searah dengan pulau Labengki yang dituju. Mungkin
itu pemukiman warga di pulau Labengki. Semakin dekat kami mulai sadar itu
bukanlah perkampungan melainkan sebuah bagang dengan Cahaya sangat menyilaukan.
Dengan Cahaya seperti demikian bagang terang benderang tersebut tidak hanya
mengelabui ikan juga menipu kami. Setidaknya kami mulai mendekat ke pulau
Labengki dari bagang tersebut. Semakin dekat ke daratan Labengki bau amis
karang mulai tercium. Itu adalah ekosistem besar karang di pulau Labengki.
Ketika melintasi karang di dekat pulau labengki dua perahu ekspedisi harus
berjalan berdekatan dan linear karena jarak pandang yang terbatas dan bahaya
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Setiba di pulau labengki kami langsung
memasak dan istirahat. Keesokan harinya kami naik ke pulau dan mengobservasi
masyarakat bajau pulau Labengki.
· Bajak
laut Tobelo
Dari hasil wawancara yang kami lakukan orang bajau
di pulau Labengki tidak jauh berbeda dengan yang kam temui di pulau-pulau
sebelumnya. Dalam kesempatan wawancara tersebut si narasumber menyebutkan
satu-persatu tempat yang menjadi destinasi wisata di sekitaran pulau labengki
diantara banyaknya destinasi wisata yang ia sebutkan terselip satu destinasi
yang cukup menarik yatu gua Tobelo. Tobelo adalah sebuah suku yang berasal dari
maluku. Pada abad 19 mereka di identikkan dengan masyarakat yang menjadi bajak
laut dan berkelana di laut Nusantara. Potensi yang dimiliki pulau Labengki
seharusnya tidak hanya menjual keindahan lautnya sebagai destinasi wisata.
Wisata budaya juga harusnya menjadi sarana penarik wisatawan. Dengan bukti
adanya gua yang di namai gua tobelo berarti pengaruh Tobelo juga sampai di
pulau labengki.
· Gua
Prasejarah Sambori
Pulau sambori merupakan persinggahan kami setelah
pulau Labengki. Sambori terkenal dengan julukan Raja Amapat di Sulawesi Tengah.
Sekilas secara morfologi gugusan pulau-pulau di sambori memang mirip dengan
Raja Ampat di Papua, tapi sambori agaknya menyimpan lebih dari sekedar
keindahan alam yang menjadi tujuan kebanyakan wisatawan. Di sambori terdapat
gua Prasejarah yang menyimpan bukti aktifitas manusia masa lampau. Dengan
kerang-kerang yang berserakan di depan mulut gua, dan gambar prasejarah di
dinding gua, menjadi bukti aktifitas nenek moyang kita. Yang lebih menarik
posisi gua prasejarah tersebut tepat berada di depan laut. dengan kondisi
lingkungan tersebut mempertegas bahwa nenek moyang kita memang pelaut. Untuk
mencapai gua tersebut kami harus melewati gugusan karang yang membentang di
depan gua. Jika salah dalam memperhitungkan waktu mungkin saja perahu bisa
kandas di karang. Hal ini memberikan kami gambaran bahwa pengetahuan tentang
laut oleh masyarakat prasejarah di sambori tentu telah memiliki pengetahuan
kompleks tentang laut dan pelayaran.
· Panik
Setelah dari pulau sambori kami menuju pulau Bungintende.
Di pulau ini banyak kerang-kerang besar yang telah kosong berserakan di depan
pantai, yang menjadi penanda pemukiman orang Bajau. Kami Kembali mendapat
sedikit waktu bersantai karena tiba siang hari. Waktu santai tersebut kami
habiskan berenang dan menyantap ikan bakar yang diberikan oleh nelayan mandar
yang sedang beistirahat di pulau itu. Setelah mengisi persediaan air dan
bersih-bersih malam hari kami beristirahat. Sekitar jam 11 perahu riset nusa
Pustaka memindahkan posisi parkirnya karena ombak mulai kencang. Posisi parkir
yang kami tempati sebenarnya cukup aman hanya saja ombak dan angin tidak bisa
ditebak. Belum lama berelang satelah perahu nusa Pustaka dipindahkan angin
kencang dan ombak yang tinggi mulai mendorong perahu ke arah dermaga. Kami yang
tidur dengan mengenakan jas hujan langsung lompat ke laut untuk menahan perahu
agar tidak terus terdorong ke temaga. Salah satu cadik perahu rapat dan terus
membentur tiang dermaga kami tidak mampu menahan perahu yang terdorong oleh
ombak. Hampir tidak ada opsi yang bisa kami lakukan sampai Pua Pia menyelam
ditengah ombak yang kencang untuk mengambil jangkar lalu memindahkannya ke
tempat lain agar perahu menghadap ke arah ombak. Setelah jangkar pindah tempat,
tali jangkar ditarik agar pancong depan perahu mengarah ke arah datangnya
ombak. Setelah perahu sudah cukup jauh dari dermaga dan kami semua basah kami
hanya bisa pasrah dan tidur dalam keadaan basah kuyup.
· Sambutan
Meriah Lumba-Lumba
Setelah dari Bungintende kami menuju pulau Bangkulu
untuk transit semalam dan langsung ke teluk Lalong yang merupakan tempat di
laksanakannya festival Sama-Bajau. Dalam perjalanan dari pulau Bangkulu ke
teluk Lalong tepatnya di sebelah barat daya pulau Peleng kawanan lumba-lumba
yang jumlahnya sangat banyak melompat kesana kemari ketika kami melintas.
Beberapa dari mereka ada yang berenang dibawah perahu melewati kami dan
melompat ketika berada di dipen perahu. Mereka mungkin sedang menyambut kami
dan mengucapkan ‘selamat sebentar lagi kalian tiba di tujuan’. Selain kawanan
lumba-lumba, burung-burung yang sedang mencari makan di laut terbang kesana
kemari menambah kemeriahan sambutan yang sedang terjadi. Para lumba-lumba tadi
agaknya sedang bermigrasi dan secara kebetulan berpapasan dengan perahu
ekpedisi yang kami gunakan. Pada musim tertentu lumba-lumba bermigrasi
mengikuti makanan meraka. Karena perubahan suhu air laut dan arus beberapa
sumber daya mekanan mereka berpindah. Migrasi lumba-lumba di pulau Sulawesi
juga menjadi penanda akan datangnya muson barat.
· Upacara
Penyambutan
Setelah melewati laut dari Sulawesi Barat hingga sampai ke Sulawesi Tengah dengan jarak sekurang-kurangnya 600 mil kami disambut dengan cukup meriah di teluk Lalong Luwuk Banggai Sulawesi Tengah. Perahu-perahu bajau yang tak terhitung jumlahnya mengiringi perahu Ekspedisi untuk masuk ke teluk Lalong. Tarian-tarian, puisi, dan sambutan dari beberapa pejabat yang hadir mewarnai kemeriahan penyambutan tim ekspedisi. Acara ini hanya simbol karena perahu belum selesai dengan perjalanannya. Tim dari korpala turun digantikan oleh beberapa pelaut Mandar untuk melanjutkan perjalanan keliling pulau Sulawesi hingga kembali ke tempat kami berangkat yaitu Sulawesi Barat.
Doc. Tim Ekspedisi Bajau Korpala Unhas di Teluk Lalong, Kab.Banggai, Sulawesi Tengah (10-12-2024)
-Tim Ekspedisi Bajau 2024
0 Response to "EKSPEDISI BAJAU SULAWESI"
Posting Komentar