Menafsir Awal mula Antroposen dan Akar Krisis Ekologi: Mengandaikan Kepunahan para Pencinta Alam?

 “Ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir dikosongkan, ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang.” – Eric Weiner

            Mari memulai tulisan ini dengan beberapa pertanyaan; Apa dampak dari keterlibatan manusia yang sangat besar dan berskala global terhadap bumi dan seisinya itu? Benarkah bahwa manusia secara umum yang menyebabkan bencana ekologis dengan porsi tanggung jawab yang sama? Paparan Crutzen dan Stoermer menunjukkan bahwa peran sentral manusia dalam geologi dan ekologi ini ternyata lebih bersifat menghancurkan ketimbang menghasilkan manfaat. Keduanya, misalnya, mendaftar beberapa hal buruk yang disebabkan oleh aktivitas manusia tersebut: pertumbuhan populasi manusia berlangsung 10 kali lipat dalam tiga abad terakhir, ketika populasi sebesar itu telah memelihara 1,4 miliar ternak sapi penghasil metana (CH4), yang merupakan salah satu penyumbang gas rumah kaca. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhannya dan perkembangan-perkembangan hidupnya, manusia antroposen ini kemudian mengeksploitasi lebih dari 30-50 persen permukaan tanah, menghancurkan hutan hujan tropis, mengalihkan aliran sungai dan membangun bendungan-bendungan raksasa, dan mengkonsumsi lebih dari setengah keseluruhan air tawar yang bisa diakses. Intervensi manusia ini juga menyebabkan terjadinya penurunan sebesar 25 persen ikan di wilayah laut dalam dan 35 persen di laut dangkal, meningkatkan penggunaan pupuk nitrogen lebih dari dua kali lipat dalam pertanian seperti yang digunakan secara alami di semua ekosistem terestrial yang digabungkan, menyebabkan terjadinya peningkatan sebesar 16 kali lipat penggunaan energi pada abad kedua puluh, yang menyebabkan terjadinya peningkatan emisi sulfur dioksida (SO₂) menjadi lebih dari dua kali tingkat alami dan meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer untuk level tertinggi mereka dalam lebih dari 400.000 tahun.

            Sebagaimana yang kita lihat bahwa sebab relasi manusia dengan alam sangat bersandar pada nafas antroposen membuat intervensi manusia bersifat sangat destruktif. Antroposen adalah sebuah epos yang memposisikan manusia sebagai pusat dari kehidupan yang megah ini, karena itulah manusia merasa dirinya sebagai satu-satunya entitas yang harus diuntungkan secara terus-menerus di atas kepentingan entitas yang lain (baca: alam). Oleh sebab itu, munculnya epos Antroposen tidak hanya menandai kelahiran sebuah krisis ekologi yang semakin masif, lebih dari itu antroposen adalah epos yang dapat mendorong ekologi secara cepat dan brutal ke ambang batasnya; kepunahan, sebuah patahan radikal (radical break) dari kondisi-kondisi ekologi yang sangat stabil pada epos holosen.

Manusia Adalah Sentral

            Puluhan ribu tahun yang lampau, bumi menjadi sebuah tempat yang sangat nyaman untuk dihuni oleh berbagai makhluk hidup seperti tumbuhan dan beberapa jenis binatang besar. Situasi ini membuatnya tidak berlebihan jika kita menyebut “bumi sebagai rumah oleh seluruh makhluk hidup di dalamnya”. Dari binatang mamut berbulu lebat, kucing bertaring pedang, atau binatang yang mungkin kurang kita kenali namun masih dicatat oleh beberapa literatur sejarah dengan perawakan yang sangat eksotis, seperti kukang tanah raksasa dan glyptodon sebesar mobil, menjadi sebuah bukti yang nyata bahwa dahulu kala terdapat megafauna yang mendiami dan menjelajahi dunia dengan sangat bebas tanpa perlu takut terhadap sebuah ancaman dari entitas lain di luar hukum alam.

Saat ini, hampir seluruh binatang besar itu tidak diketahui kemana rimbanya, mengalami kepunahan massal, atau mungkin dibunuh secara besar-besaran berdasarkan bukti-bukti yang ada menyebutkan, dilakukan oleh umat manusia. Lantaran manusia juga dengan bebas mulai melakukan penjelajahan dan menyebar ke hampir setiap sudut penjuru bumi, membuat Homo Sapiens membinasakan sebagian besar populasi megafauna di mana pun mereka tinggal dan menetap, hal itu pulalah secara tidak langsung mengemuka sebagai penyebab kekacauan konvergensi di atas bumi. Pada dasarnya, manusia tetap akan makan dan mengenyangkan diri di sepanjang rantai makanan sembari menunggu waktu untuk memakan kulit serta dagignya sendiri sebagai konsekuensi tingkahnya dalam menyapu bersih biodiversitas. Sebagaimana keberlimpahan spesies di wilayah tertentu yang tengah mengalami kemerosotan tajam, akan sekaligus mengancam fungsi keseluruhan ekosistem. Dengan demikian sebuah kepunahan yang massal terjadi dapat dikategorikan sebagai akibat dari krisis lingkungan kontemporer.

Seperti yang diungkapkan oleh E.O Wilson “daerah tropis menjadi tempat pembantaian terkemuka yang berujung pada kepunahan, hamparan hijau dibabat menjadi fragmen yang menyusut cepat, spesies tanaman dan binatang berjuang untuk beradaptasi dengan perusakan habitat, spesies invansif, pemanenan berlebihan, dan perubahan iklim antropogenik yang meningkat.” Dari hamparan Amazon yang besar, hutan hujan di Afrika Barat dan Tengah, hingga hutan belantara di Indonesia, Malaysia, dan sebagian Asia Tenggara, umat manusia memiliki peran sentral dalam memusnahkan kehidupan jutaan spesies yang lain dan membangun krisis (bencana) ekologis, tanpa disadari juga sedang membahayakan dirinya serta keberlangsungan hidupnya sendiri di planet ini. Ranajit Guha dan Juan Martinez-Alier menyebutnya sebagai “ekosistem manusia” dengan takdir yang berkelindan erat bersama planet, flora, dan fauna, kepunahan menjadi masalah yang terhubung langsung dengan kelangsungan hidup mereka, baik hari ini dan hari depan. Lalu apa itu krisis (bencana) ekologis?

Krisis ekologis sejak mula didirikan di atas aktivitas manusia sejak jutaan tahun yang lalu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan terkait dengan campur tangan atau keterlibatan manusia terhadap bumi dan seisinya. Perubahan iklim, bocornya lapisan ozon, kadar pengasaman laut yang makin tinggi adalah sebuah krisis ekologi biasa, sebuah proses alamiah hasil dari aktivitas manusia sejak jutaan tahun lalu. Sebab hubungan metabolisme antara alam dan manusia bersandar pada kepemilikan (apropriasi) yang menjadikan alam sebagai basis materiil dalam menunjang eksistensinya melalui kerja dan produksi. Oleh karena itu manusia secara umum sebagai makhluk yang materiil dan objektif tidak mampu lepas dari relasinya dengan alam, yang berarti manusia harus mampu mengolah alam demi kebutuhan dan keberlangsungan hidupnya agar tetap eksis. Namun bukan berarti hal demikian patut kita kutuki sebagai tindakan pencurian oleh manusia terhadap alam.

Bencana terhadap ekologi diakibatkan oleh relasi kepemilikan (ekspropriasi) yang menyebabkan patahan metabolisme—mengalienasi manusia dari alam akibat perampokan terhadap alam yang membuat benteng besar demi menghalangi alam memasuki babak operasi kondisi alamiahnya atau sebuah pemulihan sistematis. Relasi destruktif itu mensyaratkan perampokan yang melanggar hukum kompensasi, artinya putaran ekpropriasi harus lebih banyak berjalan untuk memakan seluruh yang ada demi kepentingan kelompok tertentu dalam mengakumulasi keuntungan. Maka bencana ekologi merupakan produk dari privatisasi terhadap sumberdaya milik bersama (commons) seperti: tanah, air, udara, demi kepentingan akumulasi, membuatnya menjadi properti milik pribadi. Bagaimanapun sebuah sistem dan tindakan yang mengkomodifikasi planet ini, akan segera menelanjangi kesuburan dunia. Sebagaimana kepentingan yang inhern dalam kapitalisme untuk menambah angka-angka dan mencipatkan apa yang Vandan Shiva sebut sebagai “cara berpikir monokultur,” membuat kita akan terjebak pada krisis lingkungan akibat perut yang tidak pernah kenyang.

 

Sebuah Katastrofe Hari Ini?

            Sejak kapan bencana ekologi tejadi dan siapa yang musti bertanggung jawab atas kejadian ini? Pertanyaan demikian tentu akan mengantar kita dalam menyelisik sebuah gagasan yang telah mengibarkan bendera kemenangan secara kokoh dan tegas atas dominasi manusia sebagai pusat kehidupan, gagasan inilah sejak mula kian berpengaruh terhadap krisis yang terjadi dengan nama Antroposen.  Umat manusia dengan semangat Antroposen tersebut berupaya menyusun ulang tatanan lingkungan bumi serta kehidupan yang ada di dalamnya secara fundamental tanpa pertimbangan berkelanjutan atas keberlangsungan hidup entitas lain selain dirinya. Jadi satu-satunya yang paling diuntungkan haruslah manusia, bukan yang lain seperti bumi, flora, dan fauna, dukungan terhadap gagasan ini semakin dibenarkan oleh omong kosong tradisional yang menjelaskan perbedaan murni antara manusia dan alam. Manusia dilihat sebagai makhluk rasional, sedangkan alam dilihat sama sekali tanpa daya rasional yang membuatnya bisa dimanfaatkan atau bahkan diekploitasi sedemikian rupa. Hingga paling ekstrim kekuatan rasio menjadi segalanya sebagai parameter dalam menilai objek tertentu agar dapat dikatakan bernilai.

           Dalam epos Antroposen ini terjadi penjungkirbalikan dalam relasi manusia dengan alam yang mulanya harmonis menjadi tidak seimbang atau yang satu (manusia) mendominasi yang lainnya (alam). Dalam beberapa literatur menyebut hal ini bermula di zaman pencerahan dengan proyek untuk mengalahkan kekuatan adikuasa dan mistis. Dengan panduan akal rasionalisme manusia memulai pemberontakan terhadap kegelapan yang sempat menguasai dunia. Sapere Aude (berani berpikir) adalah motto dari keseluruhan zaman pencerahan, kata filsuf Immanuel Kant. Beberapa panglima pencerahan mengusung strategi dalam memaklumatkan sebuah semangat atas kemenangan rasio manusia atas alam, sehingga manusia dianggap dapat menentukan sendiri arah takdir hidupnya. Sebagaimana misalnya Francis Bacon berpendapat bahwa posisi manusia adalah superior atas alam. Begitupun dengan warisan buah pikiran Rene Descartes yang mendikotomi antara pikiran (mind) dan materi/tubuh (matter/body) secara tegas, yang terkenal dengan sebutan Dualisme Cartesian. Lebih jauh Descartes mengidentikkan manusia dengan mind, sementara alam (flora dan fauna) diisolasi ke level mesin almiah.

            Crutzen melacak penanda awal Antroposen hingga akhir abad ke delapan belas, ketika revolusi industri semakin membumi dan memulai kesibukannya dalam melepaskan emisi karbon dioksida dalam jumlah yang sangat besar ke langit-langit atmosfer. Namun sebelum menerima pernyataan ini secara terburu-buru maka patut untuk berpikir ulang apakah kejadian tersebut merupakan penyebab atau hanya sebagai akibat? Agar tidak mengaburkan pertanyaan pokok tentang kekerasan dan ketidakadilan dalam relasi umat manusia dengan alam. Menjadi mungkin untuk melakukan pencarian lebih jauh ke belakang sebagai penanda awal dari epos Antroposen melampaui abad kedelapan belas. Dalam sebuah istilah “defaunaisasi dalam Antroposen” yang dicetuskan oleh para ahli biologi mereka mengemukakan sebuah pertanyaan kapan Homo Sapiens memberi dampak dalam skala besar terhadap planet ini? Berdasarkan pelacakan yang dilakukan oleh Franz Broswimmer, menurutnya momen terpenting ialah adanya pembentukan bahasa manusia, dan dengannya muncullah perubahan kualitatif yang menandai perkembangan kapasitas manusia dalam membentuk tujuannya. Kira-kira 60.000 tahun yang lalu, adanya bahasa memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan pengorganisiran sosial manusia sebagai langkah adaptif untuk mendekati alam. Hal ini pulalah yang menandai adanya batu loncatan Homo Sapiens dari evolusi biologis melalui seleksi alam ke evolusi budaya.

 Perubahan dalam kebudayaan manusia secara umum dan bersamaan menyebabkan hubungan kita dengan alam mengalami sedikit pergeseran orientasi. Selama akhir era Pleistosen (50.000-35.000 tahun lalu), nenek moyang manusia melakukan pembaruan-pembaruan terhadap pengorganisasian sosial begitupun mengembangkan berbagai jenis senjata untuk menjemput kemenangan mereka dalam aktivitas berburu di laga yang besar, mulai dari busur, panah, pelembar tombak, dan lubang perangkap. Dengan kebaruan tersebut manusia semakin mudah melakukan pengepungan terhadap sekawanan binatang besar dan mengantarnya ke pintu kematian sebagai bekal untuk memenuhi kebutuhan hidup yakni; makan. Selain daripada itu, penyebaran manusia ke setiap sudut penjuru bumi menjadi sangat masif. Dari rumah nenek moyang kita di Afrika, mereka berpencar, mengkolonisasi ekosistem utama dunia dalam rentang waktu 30.000 tahun. Akibatnya manusia mengalami ledakan demografis, hingga krisis (bencana) ekologis berupa kepunahan pada masa Pleistosen tak dapat dihindari dan pembacaan atasnya tidak dapat dilepaskan dari ekspansi ruang dan demografis Homo Sapiens. Manusia waktu itu dengan segala kemampuannya memiliki kecepatan dalam memusnahkan spesies yang secara tidak sengaja berhadapan langsung dengannya.

Hingga akhirnya terjadi sebuah transisi besar yang juga berpengaruh terhadap pilihan nenek moyang manusia untuk menemukan jawaban yang pas demi keberlangsungan hidupnya. Sebab pada waktu itu, terjadi perubahan iklim yang sangat ekstrim, seiring dengan ledakan demografis, dan kepunahan megafauna memaksa manusia merasakan krisis pangan pertamanya akibat kondisi yang tidak seimbang antara populasi manusia dan pasokan cadangan makanan. Didorong oleh krisis ini, membuat manusia mencari alternatif dari tradisi bertahan hidup sebelumnya. Masa ini dikenal sebagai Revolusi Neolitik dimana basis material mengkondisikan corak (relasi) produksi pada waktu itu. Dengan kondisi lingkungan yang cocok (air berlimpah dan tanah yang subur) membuat manusia mendomestifikasi tanaman hingga mengubah corak produksi pangannya dari yang nomaden menjadi menetap, ini ditandai dengan aktivitas-aktivitas berupa proses perubahan hamparan luas dari dunia alam menjadi ekosistem pertanian. Namun tetap saja masalah yang sama kembali muncul, yakni adanya ledakan demografis. Hal ini bersamaan dengan cara hidup manusia yang menetap, munculnya organisasi sosial di tempat-tempat baru sebagai pusat aktivitas yang dinamakan kota dengan spesialisasi kerajian, juga ditandai dengan munculnya elite politik serta agama yang berkuasa. Periode ini dikenal dengan epos Holosen. Lalu mewujudlah berbagai peradaban yang muncul pertama di negara-kota seperti Mesopotamia, Mesir, India, Tiongkok, dan Mesoamerika, hal ini menandakan dominasi manusia sebagai satu-satunya spesies yang memiliki kemampuan lebih disbanding spesies lainnya dalam mebentuk dan membangun sebuah dunia baru. Beberapa ilmuwan menyebut bahwa periode dimulainya epos Antroposen adalah di momen ini.

Selain beberapa tanda dan kejadian yang terjadi, Revolusi Neolitik tentu saja membawa pengaruh terhadap pengorganisasian sosial umat manusia waktu itu. Kerja-kerja pertanian yang dilakukan oleh manusia secara giat memungkinkan munculnya surplus pangan, hal ini mengakibatkan terjadi sebuah diferensiasi sosial yang mendikotomi manusia ke dalam dua kepentingan, yakni yang memiliki otoritas tertinggi serta akses terhadap surplus tersebut serta yang sama sekali tidak memiliki cukup kekuatan untuk menjangkau surplus pangan. Hingga sejarah manusia mungkin banyak dilihat sebagai perjuangan atas akuisis dan distribusi surplus. Bersamaan dengan itu gagasan tentang kepemilikan pribadi mulai muncul dan terbangunnya sebuah lembaga tertentu yang dapat mengorganisir kontrol terhadap surplus memuat beberapa dokumen sejarah manusia ke dalam cangkang konflik sosial.

Mari meneropong sedikit jauh ke belakang berdasarkan beberapa catatan sejarah ekosida pra-modern yang sebetulnya tidak ditujukan untuk mengamini bahwa umat manusia secara pasti dan keseluruhan memiliki dorongan alamiah untuk menghancurkan dunia alam yang padahal seluruh eksistensinya ditopang di atasnya (baca:alam). Memang benar bahwa kemampuan manusia sedikit banyaknya telah memberi perubahan pada kehidupan. Namun  ada kekuatan yang jauh lebih besar dengan kepentingan untuk mengeksploitasi alam secara terus menerus tanpa ampun dan belas kasihan, kekuatan tersebut ditandai dengan munculnya masyarakat berhierarki yang mempraktikkan defaunaisasi sebagai penyebab degradasi eksosistem secara besar-besaran. Roma kuno menyediakan bukti yang secara terbuka menelanjangi alam seiring berkembangnya imperium. Penaklukan juga dijadikan sebagai jawaban dalam menyediakan pasokan makanan dalam produktivitas pertanian domestik tentu saja hal ini secara bersamaan menyebabkan terjadinya deforestasi secara besar-besaran yang menyebar dari Maroko hingga Sierra Nevada Spanyol. Ekspansi dianggap sebagai jalan keluar dari krisis ekologis terhadap wilayah-wilayah yang dianggap tidak lagi memiliki potensi produktif. Juga dengan legitimasi agama membuat mereka semakin bebas mentransformasi dunia alam untuk mengejar kepentinga manusia itu sendiri.

Sudahkah para Pencinta Alam Melakukan Analisis?

            Jika mereka para Pencinta Alam masih ingin secara berani dan tegas mempertanggung jawabkan kata Cinta di dalam identitasnya, maka sudah seharusnya mereka membangun ruang-ruang diskusi secara masif untuk melahirkan analisis pengetahuan yang jelas dalam menunjukkan keberpihakan yang jelas pula terhadap alam. Alam adalah rumah, tempat bermain, sekolah (tempat menempa diri) atau apapun sebutannya bagi para Pencinta Alam, oleh karena itu jika rumah itu disentuh oleh tangan-tangan tidak bertanggung jawab hingga melakukan perusakan (eksploitasi), bagi saya hanya orang-orang tidak berpikir yang akan tinggal diam. Sebagaimana ungkapan Marx “tidak ada jalan yang mudah menuju ilmu pengetahuan, dan hanya ia yang tak gentar di setiap langkahnya dalam pendakian melelahkan itulah yang memiliki peluang meraih indahnya puncak terang nan bercahaya.” Kelelahan dalam sebuah proses pendakian baik secara psikis maupun fisik adalah pengalaman yang hampir tiap saat dirasakan oleh para Pencinta Alam, sebab gunung yang dingin dan sunyi tidak pernah sedikitpun menggetarkan hati mereka yang sudah merasa tekoneksi dengan tempat bermainnya (baca:gunung). Semangat demikianlah yang harus menjadi dasar gerak bagi para Pencinta Alam dalam berbagai hal.

            Esok hari adalah sebuah misteri, hal ini tentu akan diakui oleh siapapun. Disana hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi, entah sesuatu yang baik maupun buruk. Hal ini sangat dekat dengan mereka yang seringkali meluangkan waktu untuk menginjakkan kakinya di sebuah hutan rimba, tempat seluruh kemungkinan dapat terjadi dan mendekat ke arah para Pencinta Alam demi menunjukkan ketidaktahuannya. Sebab ketidaktahuan bukanlah manifestasi kebahagiaan, maka menempuh jalan-jalan sunyi bagi para Pencinta Alam adalah sebuah proses pendekatan diri yang lebih intim kepada alam, untuk mengenalnya lebih jauh dan dalam. Tetapi semakin sering para Pencinta Alam menginjakkan kakinya di bentang alam yang luas ini bukan berarti dapat menghasilkan keintiman yang nyata. Keintiman tidak selamanya membuat alam dan Pencinta Alam menjadi saling mengenal apalagi membuat mereka merasa dapat mengerti dan menampung seluruh elemen ilmu pengetahuan yang ada, lantas berteriak “aku telah mengerti dunia secara universal.” Maka dari itu merasa tahu sama dengan mematikan kecerdasan. Dunia masih penuh dengan misteri. Para Pencinta Alam tidak akan tinggal diam sembari menunggu seluruh jawaban akan datang dengan sendirinya. Lagipula masalah alam dan lingkungannya serta kehidupan pelosok di desa-desa bukan sesuatu yang begitu saja dapat dirasakan. Kita perlu lebih dekat, mempelajari serta memahaminya, atau terus hidup dalam ketidaktahuan yang sebetulnya tidak akan menolong siapapun.  

            Oleh karena itu dibutuhkan pembacaan yang jelas dan berpihak sebelum berpikir tentang dunia dengan tatanan ekologis apa yang seharusnya, kemungkinan itu hanya dapat terwujud setelah kita mengetahui akar masalah dari krisis (bencana) ekologi melalui pembacaan historis dan mengidentifikasi dalang secara tepat yang harus bertanggung jawab atas katastrofi hari ini. Ada ikatan yang sangat kuat antara gagasan Antroposen dan Kapitalosen (Kapitalisme) yang mewariskan kehidupan menjadi buruk ke anak cucu kita kelak sebagai akibat dari perampasan dan pemborosan yang semborono atas sumber daya lingkungan dunia milik bersama.

Berdasarkan gagasan Antroposen di sepanjang sejarah, umat manusia telah terlibat secara langsung ke dalam berbagai bentuk ekosida. Namun hanya dengan kekuatan ekspansi yang berorientasi untuk mengenyangkan perut secara terus menerus (tanpa batas) dan pembangunan Kapitalisme modern membuat ekosida benar-benar membumi ke segala penjuru dengan sifat ketamakan. Ekspansi hubungan sosial kapitalistik melalui kolonisasi dan imperialisme telah memajukan bencana ekologis yang semula hanya terjadi di wilayah tertentu merembes hampir ke satu planet. Sebab kacamata mereka dalam melihat alam hanyalah tempat untuk mengakumulasi kapital, alam diubah menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan, oleh karena itu masyarakat kapitalislah yang harus bertanggung jawab atas kerusakan alam hari ini karena telah menggeser relasi manusia dengan alam menjadi corak ekploitasi ekologis secara terus menerus yang tidak pernah dibayangkan pada epos-epos sebelumnya. Relasi destruktif terhadap alam merupakan syarat dasar bagi kapitalisme, sebab mengubah alam hanya sebagai komoditas dengan kata lain membongkar hal esensial dan spesifik dari komplesitas sebuah ekosistem yang terkoneksi satu sama lain. Kapital mereduksi alam tanpa henti sehingga semakin memiskinkan kualitas alam demi tujuan agar dapat dipertukarkan. Seperti yang dikatakan Marx dalam Grundrisse “Kapital adalah dorongan tanpa akhir dan tanpa batas untuk melampaui penghalang yang membatasinya.” Dengan demikian jika menerima sistem yang ganas ini, bersiaplah menuju kematian dan kepunahan, khususnya bagi para Pencinta Alam. Sebab tempat bermainnya seperti gunung, tebing, gua, dan laut adalah ladang yang bisa mengenyangkan para kapital dengan jalan eksploitasi demi akumulasi kapital. Jika alam telah hilang, dapatkah para Pencinta Alam tetap eksis? Saya rasa itu adalah hal yang mustahil. Maka perlulah para Pencinta Alam membangun keberpihakan terhadap alam dari ombang-ambing kapitalisme.

Ditulis oleh, Muhammad Riski (Yoyo) K.134 21 563. Aktif sebagai penjaga ruangan sudut biru langit (blue sky) di KORPALA UNHAS.

DAFTAR PUSTAKA

Pontoh, Coen Husain (2022). Asal-usul Antroposen dan Efeknya terhadap Hubungan Manusia dan Alam. IndoProgress

Ghiffari, Arlandy (2020) Terjemahan dari artikel John Bellamy Foster dalam Jurnal Monthly Review: Marx, Value, and Nature. Islam Bergerak.

Dawson, Ashley (2022). Kepunahan dan Kapitalisme: Sebuah Sejarah yang Radikal. Penerbit Independen. Yogyakarta.

2 Responses to "Menafsir Awal mula Antroposen dan Akar Krisis Ekologi: Mengandaikan Kepunahan para Pencinta Alam?"

  1. lalu apakah cukup jika pencinta alam hanya tahu naik gunung?

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau hanya tau naik gunung, namanya 'Penaik Gunung'.

      Hapus